Indoberita.com
Sejak pengumuman susunan kabinet oleh Presiden Jokowi tiga hari lalu, Minggu (26/10), media sosial hingga hari ini masih riuh dengan perbincangan bernada kontroversial. Satu topik yang ramai diperbincangkan adalah sosok perempuan yang diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Dialah Susi Pudjiastuti, seorang pengusaha sukses dari Pangandaran.
Baru kali ini terjadi, seorang menteri yang baru saja dilantik langsung menjadi bulan-bulanan media. Bukan karena track recordnya yang suram, namun lebih berkait dengan latar kehidupan pribadinya. Tak tanggung-tanggung, masyarakat pun langsung ikut memberikan reaksinya. Mereka menabur komentar minor di berbagai media sosial, seperti twitter dan facebook. Lulusan SMP, perokok, dan tato. Itulah sorotan utama masyarakat dan media terhadap sosok Susi.
Lulusan SMP. Untuk ukuran jaman sekarang, rasanya memang aneh dan agak ekstrem ketika seorang menteri yang notabene  adalah seorang pejabat publik yang harus memimpin sebuah departemen dan membawahi sejumlah staff ahli ternyata  memiliki latar pendidikan formal yang rendah. Pertanyaan minor yang muncul adalah, " Bisa apa seorang lulusan SMP memimpin departemen?"
Seorang perokok. Di Indonesia, rokok menjadi barang yang diharamkan untuk dikonsumsi meski tidak secara tegas dinyatakan lewat peraturan, karena rokok menjadi musuh kesehatan. Tak kurang-kurang pemerintah membuat peringatan akan bahaya rokok. Harapannya tentu masyarakat menyadari bahwa rokok memang berbahaya dan tak berguna bagi kesehatan (meski pabrik rokok tetap memproduksi rokok, dan memberi kontribusi besar bagi pajak negara, hehehe...). Susi adalah pejabat publik. Pertanyaan minor yang muncul adalah, "Bagaimana bisa seorang pejabat publik tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam mencegah penggunaan rokok?"
Memiliki tato. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pemakaian tato pada tubuh masih dipandang sebagai hal negatif. Seringkali tato lalu dikaitkan dengan gambaran seorang preman. Jika tato itu dimiliki oleh seorang perempuan, maka masyarakat lalu beranggapan pengguna tato tersebut bukanlah perempuan baik-baik. Susi adalah seorang perempuan yang menjadi pejabat publik. Pertanyaan minor yang muncul adalah, "Bagaimana mungkin penampilan seorang ibu menteri seperti seorang preman?" (pandangan ini tentu tetap bisa dibantah, karena toh tak ada dasar argumennya yang sah).
Lulusan SMP, perokok, dan bertato. Lengkaplah sudah Susi menjadi bahan olok-olok media dan masyarakat. Hanya karena tiga hal itu, orang lalu lupa pada prestasi dan poin-poin positif yang dimiliki oleh Susi. Orang tidak lagi melihat kesuksesan Susi dan keberpihakan Susi pada kaum nelayan di Pangandaran. Jika Jokowi yang adalah presiden terpilih lalu mengangkat Susi sebagai pembantunya dengan memasukkannya dalam jajaran kabinet, tentu ada pertimbangan lain yang dimiliki Jokowi. Jokowi tentu tidak asal comot mengangkat lulusan SMP menjadi menteri. Ada sudut pandang berbeda yang dimiliki Jokowi, yang tak dimiliki oleh sebagian masyarakat.
Tulisan ini tak hendak menambah keriuhan polemik yang terjadi di masyarakat. Saya, sebagai rakyat biasa tidak mengenal Susi secara pribadi. Saya hanya mencoba memilih berpikir positif saja. Bahwa idealnya seorang pejabat publik memiliki latar pendidikan formal yang memadai, itu saya setuju. Tapi kalau pun dengan pendidikan formal yang minim seseorang tetap bisa berbuat banyak bagi orang lain, ya mengapa tidak? Toh, pendidikan tinggi juga tidak menjadi jaminan bahwa seseorang bisa menghasilkan karya yang hebat.
Saya juga bukan perokok dan tidak suka merokok, namun bukan berarti lalu saya menjadi antipati pada perokok. Seseorang menjadi perokok, itu adalah pilihan. Biarlah ia sendiri yang mempertanggungjawabkan pilihannya. Kalau ibu menteri juga perokok, biarlah ia sendiri yang mempertanggungjawabkan. Sepanjang kinerjanya tetap baik dan ia bisa menjadi teladan kebaikan bagi orang-orang sekitarnya, kenapa tidak kita dukung?
Saya tidak memiliki tato, karena saya tidak suka pada tato. Ini hanya soal selera saja. Tapi kalau ada orang lain memiliki tato, ya tidak serta merta saya lalu membencinya. Toh tato juga tak serta merta mempengaruhi karakter seseorang. Â Jika kali ini kita memiliki menteri yang bertato, apa kita harus menghujatnya karena tato tersebut. Rasanya kok ya tak adil. Orang bertato yang baik banyak, orang tak bertato yang jahat juga banyak. Jadi biarlah tato menjadi milik Susi sendiri, tak usahlah kita mengurusinya.