"Nak, siapa sih sahabat dekatmu?"
Itulah pertanyaan yang sering saya ajukan kepada para siswa saya di sekolah. Pertanyaan ini saya lontarkan terkait tugas saya sebagai wali kelas untuk melihat kondisi para siswa yang perlu diketahui oleh guru. Bukan hanya kondisi keluarga, tapi juga pola pergaulan mereka di sekolah maupun di luar rumah. Cukup menarik jawaban mereka. Ternyata sebagian siswa mengatakan bahwa sahabat dekat mereka bukan teman-teman di sekolahnya atau di tempat lain. Mereka justru mengungkapkan bahwa sahabat mereka adalah gadget. Lho, kok bisa?
Jawaban dari murid-murid saya ini sempat membuat saya heran. Sebuah jawaban yang tidak saya duga. Meski merasa heran, tapi akhirnya saya mencoba memahami bahwa memang itulah dunia remaja jaman sekarang. Kondisi ini jelas berbeda dengan remaja jaman saya dulu. Bagi kaum remaja, kemajuan pesat di bidang teknologi komunikasi melahirkan sebuah budaya baru. Di mata mereka gadget bukan lagi dipandang sebagai barang asing, tapi justru menjadi barang yang sangat melekat dengan kehidupannya. Hari gini tak kenal gadget? Mana mungkin? Remaja mana yang tak kenal gadget jaman sekarang? Â Anak balita saja sudah dikasih gadget oleh orang tuanya sebagai teman bermain. Â Â Â Â Â Â Â
Orang tua yang sibuk dengan pekerjaan seringkali tak punya banyak waktu untuk menemani anak-anaknya. Orang tua juga jarang mengarahkan anaknya untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya dengan berbagai alasan. Akhirnya, sebagai pengganti mereka lebih suka membiarkan anaknya bermain gadget. Orang tua mungkin beranggapan, lebih baik anaknya tetap di rumah daripada harus keluyuran keluar dengan teman-temannya. Tanpa sadar orang tua telah membentuk pribadi anaknya menjadi anak yang tak bisa bergaul alias kuper.Â
Beberapa kasus yang pernah saya jumpai di kalangan siswa sungguh terasa ironis. Ada salah seorang murid saya, sebut saja Randy (nama samaran) yang pernah saya ajak ngobrol dalam kesempatan konsultasi. Ia bercerita bahwa di kelas ia merasa terkucil. Teman-temannya jarang mau menyapanya. Apalagi jika ada tugas kelompok, ia sering bingung karena tak ada teman yang mau mengajaknya. Randy memang anak yang sulit bergaul sehingga teman-temannya juga malas mendekatinya.Â
Saat saya telusuri latar belakangnya, memang Randy pun di rumah tak punya teman bermain. Ibunya yang single parent dan bekerja di bank seringkali pulang sore. Tak jarang bahkan sampai malam hari. Ia sebagai anak sulung dari dua bersaudara, sehari-hari hanya bermain dengan gadget. Begitu pula adiknya yang bungsu. Randy sering absen sekolah gara-gara lupa waktu dan kebanyakan main gadget. Ibunya sering uring-uringan dan kewalahan mengatasinya.Â
Pada kasus lain, ada siswa saya yang terpaksa pindah sekolah karena sebulan mogok tak mau sekolah. Kasusnya hampir mirip dengan Randy. Doni (nama samaran) baru satu semester duduk di kelas X. Pada awal semester genap ia mogok sekolah sebagai ungkapan protes pada orang tuanya yang terlalu sibuk berdagang. Doni dikenal sangat pendiam oleh teman-temannya. Dalam kesehariannya ia juga sangat akrab dengan gadget.
Kebetulan Doni juga fasih mengutak-atik perangkat gadgetnya. ia jarang punya waktu ngobrol dengan orang tuanya. Kedua kakaknya yang sudah kuliah di kota lain pun jarang berkomunikasi dengannya. Akibatnya Doni lebih memilih gadget sebagai teman dekat sekaligus tempat curhatnya (ia punya akun di beberapa medsos).
Masih banyak kasus lain di kalangan siswa saya yang kurang lebih sama dengan kasus Randy dan Doni. Siswa yang di kelas jarang berbaur dengan teman-temannya punya kecenderungan mengalihkan komunikasinya pada benda lain (gadget) yang dianggapnya mampu memahami dirinya. Anak-anak seperti ini lebih asyik bermain sendiri daripada bergaul dengan teman-temannya. Umumnya mereka juga berasal dari keluarga yang bermasalah. Orang tuanya tak bisa menjadi sahabat atau tempat anak mengungkapkan masalahnya. Dunia mereka hanya sebatas dunia internet yang mereka jelajahi lewat gadget.Â
Inilah bentuk keprihatinan yang melanda kaum muda jaman sekarang. Budaya gadget menjadi budaya yang terus berkembang dan mengubah perilaku seseorang. Kehangatan komunikasi dalam keluarga maupun dalam komunitas menjadi luntur. Kaum muda lebih memilih bentuk komunikai maya lewat media sosial. Mereka lebih suka menumpahkan seluruh isi hati dan permasalahan yang dihadapi dengan cara update status di media sosial (meski tanpa solusi) daripada membicarakan dengan orang tuanya. Kaum remaja, sesaat merasa bangga ketika punya banyak teman di media sosial (meski tak semua sungguh-sungguh dikenal), tapi sesungguhnya mereka merasa merana karena di dunia nyata ternyata mereka tak punya siapa-siapa yang bisa menjadi sahabat dekat.
Lebih parah lagi, kondisi seperti ini lalu menciptakan keterikatan pada benda bernama gadget tersebut. Remaja mungkin merasa tak terlalu sedih kalau tak punya teman, tapi ia merasa sedih kalau gadgetnya hilang atau rusak. Kehadiran orang lain di sekitarnya mungkin tak terlalu dipedulikan. Tapi ia akan sangat peduli untuk melihat teman-teman di media sosial yang keberadaannya entah di mana. Orang tua di rumah mungkin tak disapanya, tapi sapaan di media sosial tak boleh dilewatkan. Tiada hari berlalu tanpa gadget,Â