caption caption="catatan : gambar ilustrasi adalah dokumen pribadi"]
[[/caption]Perayaan Tahun Baru Imlek bukanlah hal yang asing bagi saya. Meski secara pribadi saya tak merayakan, namun berkat yang kudapatkan setiap kali imlekan selalu mengalir. Berkat yang kuterima memang bukan sesuatu yang luar biasa, tapi saya merasakan di balik semua itu ada yang luar biasa.
Dodol keranjang. Itulah berkat yang saya maksud. Yah, kue dodol keranjang  yang menjadi ikon tahun baru Imlek senantiasa hadir di rumahku tanpa harus bersusah payah membuatnya. Setiap perayaan Imlek, saya selalu mendapatkan kiriman dodol dari teman-teman maupun para murid. Kiriman ini sering kali menumpuk di rumah. Tradisi ini sudah berjalan puluhan tahun sejak  saya tinggal di Jawa Barat. Mengingat sebagian besar sahabat dan murid saya berasal dari kalangan Tionghoa, maka saya jadi familiar dengan  aneka hal yang berkait dengan tradisi mereka. Perayaan Imlek adalah salah satunya.
Kiriman kue dodol dari banyak teman seringkali menumpuk di rumah. Dulu pada awal-awal saya menerima kue dodol, saya agak kewalahan. Tak tahu harus dikemanakan, karena tak mungkin saya menghabiskan semuanya. Tapi akhirnya terpikir oleh saya untuk membagikan kembali kue tersebut kepada tetangga dan teman-teman lain yang tak merayakan imlek. Semula saya sempat ragu, apakah mereka berkenan menerimanya. Namun, keraguan saya ternyata tak beralasan. Tetangga dan teman-teman lain yang menerima justru bergembira ketika saya berbagi berkat kue dodol tersebut. Ini sesuatu yang jarang, atau bahkan tak pernah mereka dapatkan.Â
Akhirnya, hingga kini kebiasaan tersebut terus berlanjut. Bahkan, tetangga dekat saya suka menagih kue dodol saat menjelang Tahun Baru Imlek. Mereka sudah tahu  kalau saya pasti dapat kiriman dodol. Dengan senang hati, saya pun membagikan kue-kue dodol yang saya terima. Pernah suatu kali, kiriman dodol yang saya terima tak banyak. Kalau saya bagikan secara utuh ke tetangga dan teman pasti tak cukup. Daripada tak berbagi, maka saya cari cara lain. Dodol yang jumlahnya tak banyak saya potong-potong, terus saya goreng pakai tepung dan telur. Nah, gorengan dodol inilah yang saya bagikan ke tetangga. Mereka ternyata senang juga, apalagi dengan variasi yang berbeda.  Jadilah kami sama-sama merasakan berkat Imlek, sedikit tapi rata.Â
Lalu, apa yang luar biasa dari kisah ini? Makan kue dodol, pasti bukan hal yang luar biasa. Pun, seandainya dodol itu dinilai secara materi, juga bukan hal yang luar biasa. Terus apanya yang luar biasa? Yang luar biasa adalah nilai di balik semua pemberian ini. Bagi saya pribadi, yang setiap tahun menerima kiriman dodol dari para sahabat dan murid jelas merasakan sesuatu yang menyentuh. Inilah wujud perhatian para sahabat. Mereka ingin berbagi kebahagiaan dan suka cita dengan saya, lewat simbol-simbol sederhana. Ini menandakan adanya ikatan relasi yang baik.
Di sisi lain, saat saya juga mencoba berbagi dengan tetanggga atau teman tentang kue dodol tersebut, ternyata mereka juga menerima dengan senang hati tanpa prasangka. Secara bercanda jika mereka menagih kiriman pada saya, saya pandang ini sebagai bentuk kedekatan dan keakraban. Jika tak akrab atau dekat, mana mungkin mereka mau menagih? Bukankah semua ini juga menjadi pertanda adanya persaudaraan.
Persaudaraan tak perlu hadir lewat tanda-tanda yang mewah. Persaudaraan tetap bisa hadir lewat kesederhanaan dalam keseharian hidup. Berbagi berkat, itulah yang bisa kita lakukan. Tak harus banyak, namun penuh ketulusan tanpa harus melihat  siapa yang memberi atau menerima. Dodol keranjang pun bisa jadi berkat bagi semua.
Selamat menyambut Tahun Baru Imlek 2567 ***
Tasikmalaya, 06 - 02 - 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H