Ini hanyalah sebuah catatan sederhana di pengujung tahun 2013. Sebuah catatan yang tidak terlalu penting, namun aku tetap ingin menuliskannya. Catatan yang kutulis seraya menunggu datangnya tahun baru. Di hari terakhir tahun ini sengaja aku tidak melakukan kegiatan yang  heboh layaknya mereka yang terbiasa dengan pesta tutup tahun. Bagiku mengakhiri perjalanan waktu selama satu tahun tak mesti berupa perayaan besar-besaran. Apalagi sampai menghambur-hamburkan uang. Ah, hal-hal seperti itu teramat jauh dari keinginanku. Aku lebih suka merayakan tutup tahun dengan berdiam di rumah. Kadang juga menyingkir sendiri. Mencoba lepas dari rutinitas kegiatan, lalu duduk diam menjadi penonton bagi hiruk-pikuk sekitar. Malam ini aku juga hanya berdiam diri di rumah ditemani anakku. Tak ada pesta, tak ada hura-hura. Dalam kesendirian aku belajar merenungkan banyak hal. Terutama melalui beberapa pengalaman yang kutemui dalam sepekan terakhir Tiga Pengalaman Tadi siang aku berbelanja dengan bibi, asisten rumah tanggaku. Bukan belanja untuk pesta, namun belanja kebutuhan harian. Sepanjang deretan pertokoan yang kulalui tampak keriuhan  pedagang terompet yang menawarkan dagangannya. Aneka terompet dengan beragam bentuk dan warna digelar di sepanjang trotoar. Tak henti-hentinya mereka merayu orang yang lewat, terutama kaum ibu yang membawa anak kecil, agar membeli terompetnya. Ia peragakan cara meniup terompet pada anak-anak yang tertarik membeli, bahkan dengan menari-nari. Ah, cara berdagang yang sungguh kreatif. Walau diterpa gerimis rintik-rintik mereka tak peduli. Mungkin mereka juga berdoa semoga tahun baru tak diwarnai hujan agar orang banyak tetap dapat bergembira dengan meniup terompet dagangan mereka. Itulah upaya keras kaum kecil yang mencoba mengais rezeki di pengujung tahun. Betapa berat sebuah kehidupan harus dilalui. Dua hari yang lalu aku pergi ke Solo mengantar sahabatku pulang ke rumahnya. Ketika mobil kami terjebak kemacetan di sekitar alun-alun kraton yang tengah menggelar pasar malam sekatenan, tiba-tiba mataku tertumbuk pada pemandangan yang mengusik batinku. Kulihat sosok perempuan renta tengah memikul sebuah karung lusuh. Tubuhnya yang bungkuk bertopang pada sebuah tongkat kayu. Ia berjalan tertatih-tatih, selangkah demi selangkah menyusuri trotoar yang kumuh. Entah ke mana tujuannya. Sesekali ia berhenti untuk mengatur napasnya. Semula tak satupun orang yang peduli akan dirinya. Namun kemudian ada seorang tukang becak yang membantu menuntunnya ke pinggir jalan agar tak terserempet kendaraan. Betapa trenyuh aku melihatnya. Adakah nenek tua itu memiliki keluarga? Kenapa ia masih harus berpanas-panas sendirian di jalanan? Seminggu yang lalu sehari menjelang natal aku dikunjungi tetanggaku, emak yang tinggal di depan rumah. Pagi-pagi sekitar pukul enam ia sudah memanggil-manggilku. Rupanya emak mengantarkan makanan kecil khusus untukku. Saat emak kutuntun masuk ke dalam rumah dan kupersilakan duduk, emak malah memelukku seraya menahan tangis. Dengan terbata-bata ia berkata,"Neng....jangan tinggalkan emak sendirian ya. Kalau neng pergi, nanti emak tidak punya teman lagi." Tentu saja aku merasa bingung mendengar ungkapan emak. Pasalnya aku merasa tidak akan pergi kemana-mana. Saat aku usut permasalahannya rupanya emak hanya salah tafsir. Suatu kali emak pernah melihat anakku bersama ayahnya mengangkut pot-pot tanaman dan memasukkan ke mobil. Hal ini membuat emak bertanya-tanya. Ia lalu menanyakan kepada menantunya kemana pot-pot tersebut akan dibawa. Rupanya sang menantu menjawab bahwa pot itu akan dibawa ke rumah yang baru. Kontan emak mengira bahwa aku akan pindah rumah rumah. Oalaah.... Ketika aku yakinkan emak bahwa aku tak akan kemana-mana dan tetap tinggal di rumahku yang sekarang ini, emak tampak lega. Ia pun lalu duduk dan seperti biasa emak mulai curhat padaku. Ah, emak memang perempuan yang sudah seperti ibuku sendiri. Ia begitu sayang padaku. Hal ini ia katakan setiap kali curhat padaku, bahwa aku sudah dianggap sebagai anaknya. Aku memahami dan sungguh memaklumi. Emak memang kesepian karena anaknya bekerja di pasar dari pagi sampai sore hari, sehingga tak punya waktu mendengarkan keluhannya. Nilai Kehidupan Melihat ketiga pengalaman dari hari ini, dua hari serta seminggu yang lalu aku mencoba menemukan hikmahnya. Meski ketiga pengalaman tersebut tak saling berkaitan namun ketiganya memberikan pelajaran untukku.  Aku menemukan nilai-nilai kehidupan lewat pengalaman orang lain maupun pengalaman diri sendiri. Pengalaman yang kutemui tadi siang mengajarkan padaku tentang kerja keras dan perjuangan gigih kaum kecil dalam merebut nasib. Mereka tak pernah menyerah dalam menjalani hidup namun terus mencari jalan agar bisa bertahan. Rasanya aku menjadi malu, karena aku kadang masih suka mengeluh manakala menghadapi beban pekerjaan. Malah kadang juga terjebak kemalasan. Pengalaman dua hari lalu lewat sosok perempuan tua yang terseok-seok di jalanan mengajarkan padaku tentang kepedulian. Betapa dalam hidup ini kita harus saling peduli pada sesama. Aku berkaca dari tukang becak yang mencoba menuntun nenek itu ke pinggir jalan. Lagi-lagi aku merasa malu pada diriku. Soalnya aku kadang juga kurang peduli kiri kananku. Sesekali aku masih dihinggapi keegosian, yang penting aku merasa nyaman. Sementara pengalaman seminggu lalu mengajarkan padaku tentang nilai persaudaraan. Nilai persaudaraan tak hanya perlu dibangun dalam keluarga, namun juga antar keluarga. Dalam hidup bertetangga pun nilai persaudaraan harus ditumbuhkan dan dikembangkan. Ah, betapa pandainya aku berteori. Padahal, aku kadang belum mampu seperti itu. Kalau diminta harus mengakui, maka dengan jujur aku katakan aku masih harus banyak belajar mengembangkan nilai persaudaraan. Terutama dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Apa yang harus Dilakukan? Ketika sampai pada sebuah permenungan tentang nilai-nilai kehidupan maka muncul sebuah pertanyaan. Apa yang harus dilakukan? Tepatnya apa yang harus kulakukan? Jika aku harus memperbaiki hidupku saat ini jelas tak bisa. Tahun ini akan berakhir sebentar lagi. Tinggal beberapa jam saja. Jelaslah bahwa ini menjadi PR ku di tahun mendatang, tahun 2014. Sebuah PR yang tidak mudah. Namun, bukan soal mudah atau sulit yang penting adalah niat. Ya Tuhan aku ingin mengakhiri refleksiku hari ini dengan sebuah ucapan syukur. Trima kasih dan syukur aku panjatkan atas penyertaan-Mu sepanjang tahun ini dalam perjalanan hidupku. Jika Kau perkenankan aku melanjutkan hidup di tahun 2014 nanti, kiranya Engkau juga tetap menyertaiku. Aku tidak akan meminta terlalu banyak pada-Mu. Aku hanya mohon pertolongan rahmat-Mu agar aku mampu mengerjakan PR-ku yang belum terlaksana di tahun ini. Aku ingin menjadi orang yang tidak mudah menyerah, lebih peduli, dan terus mengembangkan nilai persaudaraan agar dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik di lingkungan sekitarku. Untuk sahabat-sahabatku terkasih, di akhir tulisan ini aku ingin mengucapkan "SELAMAT TAHUN BARU 2014". Terima kasih atas persahabatan yang telah kita jalin selama ini. Semoga persahabatan ini dapat berkembang menjadi persaudaraan. Salam damai. (foto ilustrasi : dokumen pribadi)
Tasikmalaya, Selasa 31 Desember 2013 pk 21.45
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H