[caption id="attachment_151268" align="aligncenter" width="386" caption="Jadi model dadakan untuk iklan Kompasiana di Kompas"][/caption]
Hari ini tepat tiga tahun sejak saya memberanikan diri untuk mendaftar sebagai bagian dari komunitas unik dimana anggotanya tersebar di seluruh penjuru dunia tapi diikat dengan semangat berbagi dan terhubung. Selama ngampus di Kompasiana ini, saya hanya memproduksi 79 tulisan sehingga rata-rata setiap bulan hanya 2 tulisan yang saya buat. Pemalas ya! *biarin wueeek paling gak sudah diatas target 1 tulisan 1 bulan.
Namun demikian saya tetap bersyukur karena menulis buat saya sama dengan berbicara dan saya paling takut berbicara terlalu banyak karena pertanggungjawabannya itu tidak di dunia maya saja tapi di dunia nyata dan akhirat lho. Apalagi selain karna menulis, yang lebih banyak opini sendiri daripada reportase, saya hampir setiap hari berkomentar rata-rata di 5 tulisan setiap hari. Banyak banget kan ngomongnya? *ngeles teruuuus
Sewaktu baru bergabung di akhir tahun 2008, saya seperti rusa masuk kampung di sini. Lari sana, lari sini, terpesona dan kadang takut melihat apa saja yang tidak ditemukan di hutan. Semua serba terlihat baru, memukau dan juga menggairahkan.
Konyolnya setiap kali meninggalkan komentar di tulisan dari penulis-penulis yang saya kagumi, saya suka deg-degan sendiri. Aduh komentar saya norak gak ya? Kelihatan begok gak ya? Dan masih banyak pikiran-pikiran gak penting lainnya yang muncul. Mengapa saya katakan tidak penting? Ya, tentu saja tidak penting karena komentar yang saya pikirkan itu sudah terkirim. Seharusnya saya berpikir tentang reaksi dari komentar saya itu sebelum mengirim komentar bukan sesudahnya tapi namanya juga newbie dan sama sekali tidak pernah gaul dengan penulis-penulis handal sebelumnya jadi ya begitu lah…. Ndeso!
Kompasianer paling hangat dan percaya saya bisa menulis di blog publik ini pertama kali adalah mas Dwiki Setiyawan. Saya juga diperkenalkan buku trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" yang legendaris itu olehnya. Orangnya kalem, senang memotivasi dan selalu melihat hal-hal positif kalau memberi komentar. Hampir tidak pernah saya lihat tulisan atau komentarnya yang negatif. Hingga kini saya masih berhutang sesuatu pada mas Dwiki tapi mungkin masih lama saya baru bisa memenuhinya…. Maaf ya mas! :)
Mas Dwiki juga yang menyambut saya dengan ramah ketika saya membuat akun baru Facebook khusus untuk teman-teman di oasis ini. Atas bantuan mas Valen baru-baru ini, saya menemukan lagi pesannya di wall saya, berikut pesannya :
“Selamat Datang di Facebook, Mbakyu Lintang….” August 3, 2009 at 2:46pm by Dwiki S
Ramah banget kan?
Untuk membedakan dengan akun yang diperuntukkan khusus untuk keluarga dekat, akun itu saya beri nama Lintang Kompasiana. Kebetulan akun itu saya buka bertepatan dengan pertama kali saya memuat tulisan di sini yaitu pada tanggal 3 Agustus 2009 namun sebenarnya tulisan saya yang pertama kali muncul di sini adalah komentar saya yang digelar menjadi tulisan oleh admin Kompasiana dan diberi judul "Jadikan Kompasiana Tempat Olah Otak dan Hati" pada tanggal 10 Juni 2009.
[caption id="attachment_151267" align="aligncenter" width="569" caption="Tulisan pertama di sini "][/caption]
Perasaan saya campur aduk ketika mengetahui komentar saya itu digelar apalagi kemudian dikomentarin oleh beberapa Kompasiner termasuk bang Ichwan Kalimasada yang tulisan-tulisan kritisnya sering muncul di bidang politik pada saat itu.
Saya lebih kaget lagi ketika mas Dwiki meresensi blog pribadi saya di tulisan ini. Terus terang saya membuat blog tersebut hanya untuk meninggalkan jejak bagi anak saya dan juga teman-teman saya di ring satu. Isinya sama sekali tidak penting dan biasa banget.
Semua coret-coretan di situ bermula di bulan Mei 2008 ketika saya tiba-tiba ingin bercerita tentang film yang saya tonton dan teman-teman saya tidak begitu tertarik mendengarnya namun saya ngotot ingin membagi pengalaman menonton film ini karena merasa bahagia sekali setelah menontonnya. Entah mengapa saya begitu bergairah untuk ngeblog padahal ketika diajak oleh salah satu teman dekat, saya tolak mentah-mentah karena tidak yakin kalau saya bisa menulis selain untuk jurnal pribadi.
Belakangan saya mengetahui bahwa itu adalah naluri keibuan saya yang pertama karena di luar pengetahuan saat itu saya sedang mengandung. Mungkin karena saya ingin orang yang paling dekat dengan saya mengetahui bahwa saya bahagia sekali maka anak saya yang di kandungan berteriak-teriak melalui benak agar dibagi dengannya karena merasa sebagai orang yang paling dekat dengan saya…. Entah lah tapi yang pasti setelah saya mengetahui saya akan memiliki anak, saya semakin ingin meninggalkan jejak untuknya seperti warisan gitu deh.
Kembali ke tulisan mas Dwiki tentang blog saya di Kompasiana, dari situ saya mulai merasa memiliki teman di blog publik ini apalagi mas Iskandar Zulkarnaen pernah meninggalkan komentar di blog pribadi saya itu. Duh senangnya, serasa pintu dibuka oleh penjaganya untuk bergabung di rumah sehat ini.
Pertama kali memuat tulisan di sini juga tidak kalah seru ceritanya karena akun saya tidak memiliki dashboard layaknya yang dimiliki akun lain. Jadi saya tidak bisa menemukan tab kirimkan tulisan karena dashboardnya saja tidak ada. Saya sempat keluhkan hal ini di salah satu komentar saya dan Kompasianer Yunika Umar yang baik hati memberi arahan dengan khusus meninggalkan komentar di blog pribadi saya untuk membahas bagaimana memuat tulisan.
Setelah bolak-balik mencari-cari akhirnya saya menyerah dan menghubungi mas Iskandar Zulkarnain yang cukup mengejutkan karena sangat perhatian dan menolong. Saya sempat disapa melalui YM karena dulu kalau meninggalkan komentar kita wajib meninggalkan alamat email kita dan akhirnya dengan bantuan IT Kompasiana, akun saya bisa normal memiliki fasilitas untuk mengirim tulisan, tidak hanya komentar.
Sejak saat itu Kompasiana dan Facebook dengan akun Lintang Kompasiana selalu mengisi hari-hari saya. Hingga saat ini dari 813 teman saya di Facebook 370 diantaranya adalah Kompasianer. Saya mengetahui persis jumlah tersebut karena setiap kali mengkonfirmasi pertemanan, saya otomatis memasukan teman baru saya ke dalam list sesuai dengan kategorinya seperti Kompasianer, Lintang’s (blog pribadi), teman kantor saat ini, teman di kantor lama, teman ketika masih aktif terbang, teman kuliah, teman SMA, teman SMP, teman SD dan teman TK. Kalau saya tidak memiliki mutual friends dengan yang meminta berteman, saya enggan untuk mengkonfirmasinya kecuali ada permintaan khusus melalui fasilitas kirim pesan.
Tidak selamanya hidup saya di atas bahkan pernah dalam rentang kurang dari setahun saya mengalami ujian yang tidak main-main sulitnya. Beberapa kali saya harus membuat keputusan besar dan tahu kah anda siapa yang paling banyak memberi masukan atau kritikan? Teman-teman Kompasianer!
Mengapa saya berani meminta pertimbangan orang-orang yang hanya saya kenal melalui tulisan? Tidak lain adalah karena saya melihat mereka tidak punya kepentingan apa pun terhadap hidup saya. Orang yang sudah mengenal kita dengan baik cenderung untuk berhati-hati memberi masukan karena beberapa alasan seperti takut menyakiti, takut memberi harapan, takut disalahkan dll. Tidak demikian dengan teman-teman baru yang belum mengenal kita dengan baik, mereka akan ceplas-ceplos dan nothing to lose memberi masukan dan kritikan karena yang diberikan adalah sesuatu yang umum yaitu kebenaran atau tindakan yang diterima secara umum.
Dua kali saya pernah berbagi pengalaman jelek di sini yaitu ketika mendapati pengasuh anak saya adalah seorang psikopat dan kedua kalinya ketika saya terlambat mengetahui bahwa adik perempuan dan kemenakan-kemenakan saya mengalami KDRT.
Selain do’a, motivasi dan informasi yang bermanfaat untuk menghadapi masalah tersebut, saya juga mendapat dukungan yang luar biasa dari teman-teman Kompasianer di sini. Dari situ pula saya mengetahui mana teman-teman yang sesungguhnya dan mana teman-teman untuk fun saja bahkan di luar dugaan, teman yang saya kira tidak akan peduli dengan musibah yang saya alami justru ikut memasang badan untuk mendukung saya. Yah, saya tidak akan pernah melupakan kebaikan bang ASA sampai kapan pun. Saya mengetahui bahwa untuk apa yang sudah dilakukan demi mendukung adik saya yang sedang menjalani proses hukum, bang ASA mendapat tidak hanya cibiran namun juga tuduhan yang tidak pantas dari orang-orang yang selalu berhitung ketika memberi pertolongan. Saya hanya mampu mendoakan semoga Tuhan membalas perhatian dan dukungannya ini dengan kebaikan berlipat-lipat.
Kompasiana sungguh memberi warna dalam hidup saya bukan karena saya pernah mendapat hadiah dari perlombaan menulis sampai 3x di sini tapi karena ikut menumbuhkan percaya diri saya untuk berani menyuarakan sesuatu jika melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau tidak pantas. Saya ingat di profil saya dulu deskripsinya berbunyi seperti ini :
Seorang ibu baru yang bangga.
Seorang sekretaris profesional.
Seorang teman perempuan yang pemalu tapi cerewet.
Seorang anak perempuan yang suka berontak dengan tradisi tidak masuk akal.
Seorang saudara perempuan yang bisa dihubungi 24 jam untuk curhat.
Seorang perempuan yang mandiri dan keras kepala.
Seorang muslimah yang terus menerus belajar tentang keyakinannya.
Seorang warga negara yang taat pajak.
Seorang warga dunia yang sedang belajar peduli dengan lingkungan.
Seorang Kompasianer yang kurang percaya diri :)
Setelah tiga kali mengubah deskripsi tersebut, saya berani memperkenalkan blog pribadi saya seperti tampilan saat ini. Salah satu Kompasianer yang sering protes dengan kalimat terakhir di deskripsi awal tersebut adalah Pak Roy Hendroko. Tidak bosan pak Roy menyemangati saya untuk menghapus kalimat tersebut dengan motivasi bahwa jangan menilai diri sendiri tidak baik, biar lah orang lain yang menilai tulisan kita dan menurutnya tulisan saya cukup bisa dimengerti pesannya.
Tentu saja itu membuat saya semakin betah berbagi dan terhubung dengan para blogger di Kompasiana karena meskipun merasa bahwa jam terbang menulisnya masih sedikit, saya tahu banyak teman-teman yang mau berbagi ilmu dan pengetahuan menulis dengan tulus di sini.
Tidak hanya belajar menulis, di sini saya juga belajar bagaimana bersikap terbuka, toleran, tegas dan konsisten menerima perbedaan dengan pemahaman yang luas. Saya tidak pernah menyangka bisa memiliki begitu banyak teman dari berbagai usia, latar belakang pendidikan, profesi, ideologi, kegemaran, agama dan suku bangsa padahal saya termasuk pemalu dan penghindar keramaian aslinya.
Dalam tiga tahun ini saya pernah mengalami masa duka kehilangan teman karena dipanggil Tuhan lebih dahulu. Kehilangan pertama adalah Puri yang belakangan saya tahu adalah akun fiktif dan yang kedua adalah pak David Solafide yang selalu riang menyapa dengan tertawanya yang khas “hoahoahoahoa”. Almarhum juga termasuk salah satu yang memberi dukungan aktif untuk kasus KDRT adik saya. Ternyata kehilangan teman yang dikenal melalui dunia maya sama sedihnya dengan kehilangan teman di dunia nyata. Doa saya yang tulus semoga almarhum tenang dan damai di sisi-Nya.
Demikian juga rasa khawatir dan prihatin ketika ada yang sedang mengahadapi keadaan darurat seperti yang dialami mbak Tyas di Suriah dan Bisyri di Mesir atau ketika pak Unang masuk RS karena diabetes, pak Chappy terkena serangan jantung dan om Jay diopname karena demam berdarah. Sebut saja peristiwa lain seperti ketika membaca berita duka meninggalnya suami mbak LH atau keponakan mas Syaifuddin tidak pulang ke rumah dan sempat dikira hilang atau mas Erick yang pernah diduga mengedarkan tulisan tanpa izin atau mbak Yayat yang tidak menyangka bercanda bisa dimaknai begitu serius atau mbak Daveena yang harus memecah fokusnya karena terbawa polemik yang melebar. Saya turut larut berempati karena dari hanya saling berbagi tulisan, kita menjadi berteman sungguhan di sini.
Sebaliknya ketika pak Pray, Margie, mbak Ary Amhir, mbak Winda, mas Hazmi dan teman-teman lain menerbitkan buku, saya ikut senang dan gembira. Itu juga yang saya rasakan ketika mendengar berita bahagia dari Rahmi dan Batara Hamzah yang menikah. Keren ya, mereka berjodoh melalui Kompasiana lho! Saya juga ikut bersyukur ketika mendengar Yusran Darmawan mendapat beasiswa sekolah ke Amerika dan girang ketika membaca mbak Christie Damayanti dinobatkan sebagai Kompasianer of 2011.
Masih banyak sekali peristiwa yang dialami Kompasianer yang saya kenal ikut saya rasakan selama bergabung di sini baik yang saya ketahui melalui tulisan maupun dari info antar teman melalui Facebook.
Kopdar atau bertemu di dunia nyata juga memiliki peran penting karena pertemanan biasanya menjadi semakin dekat meskipun kita tidak selalu memiliki opini yang sama dalam setiap issue yang ada di Kompasiana.
Namun demikian kopdar juga bukan melulu alasan kita bisa memiliki teman baik di sini seperti saya dengan uda Budiman Hakim, mbak Dita, pak Damianus Gading, pak Gustaaf Kusno, Inge, mbak Mimin,pak Jiddan, mbak Deasy, bang Arpan Parutang, Teh Ima, prof Ouda, pak Markus Budirahardjo, mamak Ketol, mbak Limantina Sihaloho, Anita T Lana, prof Nur Tjahjadi, Fawaizzah Wati, mas Ari Nuraya, mas Farid, mbak Rosiy, mbak G, mbak Daveena, mbak Moona, mbak Yulia Rakhmawati, mbakRanti, mbak Della Ana, bang Krisna Lazuardi, pak AJ, mas Valen, Bunda Khadijah dan masih banyak lagi yang belum disebutkan bisa berteman baik dan cukup dekat padahal belum pernah bertemu sekali pun *geer banget yak bilang cukup dekat padahal belum tentu mereka merasa demikian hi hi hi
Diam-diam saya memperhatikan jumlah teman saya terus bertambah dari hanya 41 orang pertama kali bergabung yaitu : mas Dwiki, pak Prayitno Ramelan, kang Pepih Nugraha, mas Iskandar Zulkarnaen, bang Edi Taslim, mbak Ririen, mas Syaifuddin Sayuti, mas Ary Tri Setyanto, mas Yulyanto, mas Abi Hasantoso, mas Junanto, mas Aris Heru Utomo, daeng Amril Taufik Gobel, mbak Novrita, mas Nurfransa, pak Eko SHP, pak Honny, mbak Yorita, uni Linda, mbak Henie ZR, Nurulloh, mas Iman Nurimansayah, mbak Dian Palupi, mbak Erwahyuni, mbak Yenni Bakhtiar, mas Indraputra, pak Rudi, mas Sigit Kurniawan, pak Chappy Hakim, om Wijaya Kusumah, Yunika Umar, pak Umar Hapsoro, pak Roy Hendroko, pak Lukman Hakim, mas Joko Purboyo, Rukmana, mas Boy Rachmad, pak Slamet Rahardjo, ibu Hartanti, bang Ichwan Kalimasada dan mbak Andriani.
Bertambah lagi ketika melibatkan diri dalam kegiatan sosial yang digagas oleh Kompasianer yaitu Jimmo, Babeh Helmi, pak Doddy Poerbo, pak Firman Seponada, mas Budi Handuk, mbak Yayat, Suri, Hadi Samsul, mbak Tantri Pranash, bang Edi Sembiring, mbak Ike, om Chechgentong, mas Bintang, om Syam, mas Ahmed Tzar, bang Zulfikar Akbar, mas Achsin, pak Dian Kelana, mas Minami, bang Risman dan masih banyak lagi yang belum tersebut. Demikian juga ketika bertemu di berbagai kopdar yang saya ikuti dengan Kompasianer lain seperti mas Affa, mbak Hesti Fazrul, bang Tim Tarigan, Dwi, mbak Ve, mbak Indri, mbak Aulia, mbak Dessy, om ZQ, mas Choirul Huda dan lagi-lagi pasti belum semua tersebutkan di sini.
Semakin banyak teman semakin banyak ilmu dan pengetahuan yang saya dapatkan, tidak hanya dari informasi dan pengalaman yang mereka bagi namun juga teladan bagaimana bersikap yang baik dan benar dalam bersosialisasi di dunia maya ini. Hingga saat ini saya tetap berkeyakinan bahwa apa pun yang pernah kita tebar akan kembali lagi ke kita cepat atau lambat demikian juga tulisan dan ucapan kita.
Pertemanan tidak selamanya hangat, kadang bisa terbakar bahkan membeku seperti salju di puncak gunung tinggi namun pengalaman saya berkali-kali membuktikan kita tidak perlu menyenangkan semua orang agar disenangi karena tidak menyenangkan pun termasuk hal yang disenangi dalam pergaulan.
Yang penting buat saya, jangan pernah melakukan sesuatu agar dipuji dan dipuja oleh orang lain karena pujian itu hanya akan menjatuhkan dan menjadi stringing puppet itu melelahkan lho karena tidak menjadi diri sendiri!
Selain itu jangan pernah menilai jika tidak pernah mengenal seseorang dengan cukup baik. Saya mengenal seseorang dengan cukup baik jika saya bisa melihat bagaimana sikapnya terhadap musibah yang dialami dan beberapa hal prinsip seperti kepercayaan (apakah pernah menusuk teman dari belakang), konsistensi (apakah perbuatannya tidak sesuai dengan tulisan maupun perkataan), etika (apakahsering menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginan seperti popularitas, materi atau bahkan dukungan) dan yang terakhir adalah semangat egaliter (apakah selalu menganggap diri lebih tinggi dari orang lain).
Saya yakin setiap Kompasianer pasti memiliki berbagai cerita unik tentang pertemanan dan berbagi tulisan namun yang pasti setelah bergabung di sini, wawasan dan jaringan pertemanannya bertambah, bukan?
Sebentar lagi tahun 2012 menyapa, ada beberapa hal yang seharusnya bisa saya penuhi tahun 2011 ini namun tidak terpenuhi. Kecewa? Tentu saja namun saya optimis tahun depan semua akan terpenuhi, insha Allah karena selama 3 tahun ini saya banyak mendapatkan informasi berguna di Kompasiana jadi tinggal dijalankan saja.
Akhirnya, saya hanya bisa berharap semoga apa yang pernah saya tuliskan di sini bisa bermanfaat bagi pembaca walaupun terkadang tidak langsung dirasakan seperti juga beberapa tulisan inspiratif yang saya dapatkan selama bergabung di sini.
Tetap lah bersinar dan mencerahkan, Kompasianaku! You’re my best blog…. Still!
Salam Kompasiana,
Lintang
Sumber Foto : Koleksi dari album foto bang Edi Taslim, mas Joko Purboyo, mas Widianto H Didiet, pak Dian Kelana, mas Minami, Yusran Darmawan, mbak Yorita dan mbak Novrita
[caption id="attachment_151298" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar I : Launching Buku pak Chappy Hakim @ Hotel Sultan"][/caption] [caption id="attachment_151273" align="alignright" width="300" caption="Kopdar I : Bersama pak Chappy dan Ibu juga Kompasianer Indra Putra"][/caption]
[caption id="attachment_151274" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar II : Launching Buku pak Prayitno Ramelan @ Apartemen Dharmawangsa"][/caption] [caption id="attachment_151275" align="alignright" width="300" caption="Kopdar II : uni Linda Djalil, Lintang, Yunika Umar, mbak Henie ZR dan mbak Yorita"][/caption]
[caption id="attachment_151280" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar II : Ada pak Roy, pak Umar, dr Anugra, pak Elha, mbak Ririen, mas Ary yang sudah jarang menulis lagi"][/caption] [caption id="attachment_151278" align="alignright" width="300" caption="Kopdar II : Kaos Kompasiana Hitam keren yang belum berhasil dikoleksi"][/caption]
[caption id="attachment_151281" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar III : Lesehan di depan cinema 21 @ TIM"][/caption] [caption id="attachment_151282" align="alignright" width="300" caption="Kopdar IV : Baksos @ Muara Angke"][/caption]
[caption id="attachment_151283" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar V : Bahas gerakan STC @TIM"][/caption] [caption id="attachment_151285" align="alignright" width="300" caption="Kopdar VI : Modis Kompasiana bersama pak Jacob Oetama sekalian dapat buku gratis dari kompasianer Margie @Hotel Santika"][/caption]
[caption id="attachment_151286" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar VII : Halal bi Halal @ rumah pak Pray"][/caption] [caption id="attachment_151287" align="alignright" width="300" caption="Kopdar VIII : Modis bersama Mendikbud, Muhammad Nuh @ Hotel Santika"][/caption]
[caption id="attachment_151288" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar IX : Nobar "][/caption] [caption id="attachment_151290" align="alignright" width="300" caption="Kopdar IX : Menjelang bubar gerak!"][/caption]
[caption id="attachment_151292" align="alignleft" width="300" caption="Kopdar X : Bareng Yunika & Hadi di Ultah Kompasiana kedua @ MU Cafe"][/caption] [caption id="attachment_151293" align="alignright" width="300" caption="Kopdar X : Peristiwa penyuapan yang tidak diselidiki KPK"][/caption]