Potensi Dan Permasalahan Ubi Kayu
Produksi ubikayu Indonesia pada tahun 2008 meliputi luas panen 1.204.933 ha, dengan 180,57 Kuintal/ha, dan produksi sebesar 21.756.991 ton. Sentra produksi ubikayu adalah Lampung, Jawa Tengah , Jawa Timur, Jawa Barat, DIY, NTB dan Sumut. Karena dapat hidup di lahan kebun ubikayu menjadi salah satu sumber makanan pokok yang harganya murah.
Kendala ubikayu antara lain ubikayu mengandung kadar air yang tinggi (60%), sehingga mudah rusak dalam waktu 3 hari bila tidak segera diproses, serta mempunyai getah yang banyak mengandung HCN dan enzim polifenolase yang menyebabkan warna biru dan terjadi warna pencokelatan atau browning. Kerusakan ubikayu segar dimulai dari kerusakan mekanis (pada waktu panen terpotong, tergores, memar dan retak) sehingga mudah terjadi kerusakan secara fisiologi (ke”poyo”an /lunak) kerusakan secara mikrobiologi (busuk).
Penggunaan Ubikayu
Ubikayu dapat diolah menjadi berbagai jenis produk olahan sebagai makanan pokok antara lain gaplek yang merupakan ubikayu kering, yang kemudian diolah menjadi makanan seperti gatot dan thiwul. Gaplek dapat dibuat tepung yang disebut sebagai tepung gaplek. Secara lengkap diterangkan di pohon industri ubikayu.
Impor Ubi Kayu Dan Olahannya
Impor ubikayu diyakini bukan dalam bentuk ubi segar. Karena ubikayu merupakan bahan yang cepat rusak sehingga pengiriman jarak jauh dalam jumlah yang besar sangat riskan. Disamping itu dalam keadaan segar masih banyak mengandung air sehingga harga perberat ubikayu tidak feasible untuk impor dan ekspor.
Impor ubikayu diketahui dalam bentuk pati (tapioka) dan pati termodifikasi. Hal tersebut diantaranya disebabkan karena beberapa hal: ada pabrik yang mengimpor tapioka mutu 1 (kasus di Riau sampai 2010). Alasan impor tapioka adalah ketersediaan tapioka mutu 1 tidak mencukupi. Di Indonesia tapioka selain diproduksi industri juga diproduksi oleh masyarakat yang dikenal dengan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) à keterbatasan peralatan, dan SOP yang tidak jelas menyebabkan tidak bisa menghasilkan mutu 1.
Seandainya pengusaha-pengusaha di Indonesia bersatu, lalu dihitung berapa kebutuhan tapioka mutu 1, maltodekstrin, dekstrin, glukosa, fruktosa dan sorbitol. Kemudian mana pabrik yang akan menghasilkan antara produk-produk tersebut, dengan kapasitas yang bisa mencukupi kebutuhan Nasional tersebut, maka mungkin dapat diajukan ke pemerintah untuk disubsidi, dengan jaminan bahwa dengan produksi tersebut dapat memenuhi kebutuhan nasional dan menjamin tidak sampai impor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H