Mohon tunggu...
Elkana Catur Hardiansah
Elkana Catur Hardiansah Mohon Tunggu... Konsultan - Urban Planner, Data Management Learner

Urban Planner, Urban Life enthusiast, Blogger, Traveller, Punya mimpi untuk menjadi lebih besar dari rumahnya Ketua IAP Bidang Kerjasama dan Livable City

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kematian 7-11 dan Ruang Kota di Jakarta

30 Juni 2017   11:19 Diperbarui: 30 Juni 2017   14:04 1195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar di ingatan kita celotehan anak muda di pojok gerai 7-11 (seven eleven), sisa minuman slurpee yang cukup fenomenal, dan sensasi minum kopi dari gelas kertas ala kafe dengan harga miring. 

Itu adalah kenangan yang masih segar diingatan kita sekitar 5-6 tahun lalu saat gerai 7-11 mulai memasuki wilayah Indonesia. Penampakan yang berbeda saat kita ke gerai 7-11 yang sama di Singapura, Thailand dan beberapa negara lainnya. Konsep gerai 7-11 berjalan serupa dengan model convenience store lain  seperti lainnya di Indonesia.

Kehadiran 7-11 saat itu membawa nuansa baru bagi kehidupan perkotaan, terutama di wilayah Jakarta. Di mana ruang-ruang komunitas, terutama anak muda kelas menengah, berpindah bentuk dari perkumpulan di ruang terbuka atau ruang tradisional lainnya ke dalam ruang formil ala kafe wilayah perkotaan. Bagi pelaku usaha convenience store lainnya, model bisnis 7-11 menyebabkan  direplikasinya ruang usaha serupa dengan bentuk yang berbeda.

Pertanyaan paling klasik yang ada di kepala saya saat itu adalah "mengapa begitu cepat di respon masyarakat?" Hal ini mungkin tidak relevan di tanyakan saat ini megingat ditutupnya gerai 7-11 secara massal per akhir bulan Juni 2017 sebagai bentuk "lempar handuk" oleh manajemen atas meruginya  seluruh gerai yang ada.

Saya memaknai 7-11 sebagai pertemuan dua nilai budaya yang berkembang akibat tidak optimalnya penyediaan ruang terbuka publik terutama untuk generasi muda. Budaya pertama adalah konsumerism dan globalisasi. Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang -- barang hasil produksi secara berlebihan. 

Konsumerisme dianggap lahir sebagai anak kandung dari kapitalisme sebagai akibat lain dari globalisasi. Globalisasi menyebabkan produk merk tidak lagi dibatasi oleh batas-batas negara. Merk 7-11 yang sudah cukup dikenal awalnya sebagai kelompok usaha dari luar negeri menjadi "hits" saat pertama kali masuk ke Indonesia. Reputasinya datang lebih dahulu dibandingkan fisik tokonya.

Saya masih ingat pada masa itu obrolan dua anak SMP di 7-11 bilangan mayestik.

anak 1: kamu jajan apa di Sevel??

Anak 2: aku beli teh botol sama aqua..

Anak 1: ah gak keren. gue dong beli slurpee..

Mengamati dialog lucu itu, kita bisa melihat bagaimana merk dan kemasan menjadi pembeda status sosial dari sejak dini. Konsumsi atas merk menjadi yang utama dibandingkan apa yang dikonsumsi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun