Mohon tunggu...
Catur Warna
Catur Warna Mohon Tunggu... Wirausaha -

Milanisti | Kajian filsafat islam dan tasawuf | Membaca dan menulis | Penikmat kopi hitam | Editor di www.bincangkopi.com | \r\ncontact: akrom@bincangkopi.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Titik

4 September 2012   19:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:55 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Waktu tak ubahnya titik-titik panjang membentuk garis, menjadi kata, merangkai makna.Mungkin, sesekali kita berpikir ingin meluruskan titik-titik yang bengkong atau mungkin kita menghapus titik tersebut, sehingga menjadi kenangan manis dikala rambut kita mulai memutih kelak. Sayang seribu sayang, bak punguk merindukan bulan, muskhill kita kembali pada titik yang sama. Meski kita menangisinya dengan tetesan darah, penyesalan itu hanya akan menjadi pepesan kosong yang tiada artinya. Baik dan buruk, bahagia dan sedih, hanya sebatas penilaian yang tentunya sangat subjektif. Mungkin di masa lalu, pada titik tertentu kita merasa sangat menderita. Bahkan perasaan itu membuat kita tak hentinya menitikkan air mata. Mungkin juga serapah jahanam sempat terlontar dari mulut mungil kita pada sebuah nama dan berpikir bahwa pada saat itu habislah hidup kita. Mati. Sepertinya kita terlalu cengeng jika harus menangisi hal-hal semacam itu. Sebab, dititik lain, kita merasa begitu bungah akan apa yang terjadi pada diri kita. Orang-orang di sekeliling kita mempersembahkan yang terbaik dari apa yang mereka miliki untuk kita seorang. Rasanya bunga-bunga cinta bertaburan di sekeliling kita hingga membuat kita melayang tinggi ke langit tak berbilang. Dunia rasanya milik kita seorang. Jika kita mengingat hal ini pada titik masa berikutnya, rasanya tak sepantasnya serapah jahanam itu keluar dari mulut kita. Jika sudah demikian, sepatutnya kita kembali berpikir tentang apa yang seharusnya kita lakukan. Percayalah, saat kita sedang dilanda sedih, di depan sana ada titik yang siap membahagiakan kita. Begitu halnya sebaliknya. Mari, coba berpikir secara jernih, mari kita gunakan tinta terbaik kita untuk menghubungkan titik-titik tersebut menjadi sebuah maha karya yang tak ternilai harganya. Jika kau merasa pusing memahami tulisanku ini, aku bisa memaklumi. Karena aku sendiri sebenarnya tak paham akan apa yang aku tuliskan. Aku hanya menghabungkan beberapa titik-titik menjadi huruf, menjadi kata-kata tentang apa yang kurasakan pada masa lalu. Barang kali, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menjalankan lakuku sebagai makhluk, sebagai manusia,  sebagai seorang anak dan, sebagai bagian dari masyarakat. Bahwa hidup bukanlah masa lalu, juga bukan masa mendatang, tinggal bagaimana kita memandang dan menjalaninya. Catur Warna, Ngemplak, 30/08/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun