Perubahan menunjukkan tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali jalan perubahan itu sendiri. Meski sembunyi hingga dasar neraka, kau tetap mengikutiku. Serba salah memang garis hidup yang harus kita pilih. Butuh cukup keberanian demi hati yang hening. Sebab hati yang hening atau suwong, lebih luas dari tempat manusia berpijak. Bahkan sama luasnya dengan semesta alit dan agung. Mestinya kita tak perlu berlari dari realitas. Bukankah mustahil kita merubah yang sudah terjadi? Aku tak sedang membual.
Bualan kosong tak pernah menyelesaikan permasalahan yang ada. Karena lagit tetap saja biru. Bagiku warna biru mewakili keleluasan. Iya. Seperti langit, juga samudera. Meski keduanya digabungkan, ia tak pernah lebih dari luasnya hati. Meski begitu, hati bisa saja menjadi sesuatu yang paling kecil dari yang ada di semesta. Bahkan jauh lebih kecil dari atom. Kekerdilan itu, lahir bersamaan dengan jiwa yang rapuh. Saat kita tak lagi mampu mengontrol gejolak di dalam batin kita.
Tuhan memang Maha Lucu, Maha Narsis, juga Maha Egois. SehekendakNya, dibolak-balikkan hati seorang hamba. Semuanya berawal dari "Cinta". Iya. Semua berawal dan berakhir kerena cinta. Seperti itulah kita dipertemukan dan dipisahkan. Hanya karena Tuhan yang Maha Narsis. Aku tidak sedang mengigau tentang kenarsisan Tuhan. Karena Dia adalah hidden treasure yang ingin diketahui keberadaanNya. Dia iri saat kita saling menyintai dan melupanNya. Memang narsis bukan? Egois? Pasti. Karena Dia yang paling berhak untuk itu.
Saat kita mulai menapaki gegap gempita dunia, kita mulai lupa darimana, untuk apa dan kemana hidup ini. Rasanya hidup ini adalah milik kita. Saat kita merasa memiliki, kita begitu takut kehilangan hal itu. Segalanya kita lakukan untuknya. Bukan hanya materi, bahkan nyawa kita sekalipun akan kita pertaruhkan untuk tetap menjaga yang kita cintai (red:miliki).
Segala kekoyolan akan kita lakukan. Bahkan kita bersedia lupa akan kewajiban kita terhadap tubuh kita (makan, mandi, dll). Saat yang kita cintai menghilang. Kita seperti daun kering. Terbang melayang diterpa angin. Saat itu juga kita belajar tentang perasaan semesta; gunung yang murung, ombak yang gelisah, lambaian daun, rintik hujan, tetes embun, terik mentari, bulan, bintang, pelangi. Rasanya semua mewakili perasaan kita.
Harusnya dari tadi aku tak menyebutkan kata "kita". Karena aku mulai tak tahu apa yang ada di pikiranmu. Tapi yang kutahu, hatimu masih aku. Tak ada hak bagiku memintamu meraih kembali tangangku. Kau pemegang pena takdirmu sendiri. Silahkan. Guratan macam apa pun yang kau buat, semesta masih tetap setia menunggu untuk menyambut takdir yang kau cipta.
Sebagaiamana tulisan yang merobohkan keangkuhanku ini, setidaknya telah sedikit memenangkan hatiku. Aku pernah bilang, saat hatimu gundah, "Pandanglah langit, maka bulan sabit akan terukir di indah bibirmu." Aku juga pernah memintamu untuk menunjuk satu di antara bintang di langit, kau lebih memilih Purnama. Saat Purnama mendekat, pelahan kau menjauh. Karena ada pelangi yang menurutmu lebih indah. Guratan-guratan pena yang kita buat kini menjadi sebuah buku berjudul "Masa Lalu".
Seketika lembaran-lembaran itu datang saat kita berdiam dalam keramaian. Kita bisa saja menangis ataupun tertawa. Ini hanya soal selera. Soal pahit dan manis, tergantung dari sisi mana kita melihat. Tak ada yang ingin jatuh pada lubang yang sama. Apalagi tertimpa tangga pula.
Dari twitter malam menyambut pagi: @catur_warna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H