Mohon tunggu...
Catur Warna
Catur Warna Mohon Tunggu... Wirausaha -

Milanisti | Kajian filsafat islam dan tasawuf | Membaca dan menulis | Penikmat kopi hitam | Editor di www.bincangkopi.com | \r\ncontact: akrom@bincangkopi.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malu Bertanya Pahit Rasanya

16 April 2014   09:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="745" caption="Espresso"][/caption] Bagi kamu yang biasa nongkrong di Starbucks atau biasa nongkrong di kafe, tentu akrab dengan minuman seperti Caffe Latte, Cappucino, Macchiato, Con Panna, Affogato. Tapi tahukah kamu jika berbagai minuman tersebut berbahan dasar Espresso? Mengenai istilah terakhir, saya memiliki pengalaman yang unik. Bisa jadi kamu juga pernah mengalaminya. Semoga saja tidak. Sekitar 8 tahun lalu, seorang teman perempuan pada forum diskusi online asal Surabaya datang ke Jakarta karena urusan kantor. Ibarat kata, “sambil menyelam minum air”, ia mengajak saya kopi darat di sebuah kedai kopi tak jauh dari tempat menginapnya. Sekitar jam 4 sore, kami bertemu pada tempat yang sudah ditentukan. Dia telah tiba 10 menit lebih cepat. Begitu saya duduk, dengan sigap dan senyum tampak memaksa, seseorang berpakaian rapi datang menyodorkan daftar menu. Melihat daftar menu yang ada, saya bingung mau memesan apa. Yang tampak hanya daftar istilah asing dan harga. Ya, itu adalah pengalaman pertama saya minum kopi di kafe. Biasanya kalau mau ngopi, saya pergi ke burjo atau menyeduh sendiri dengan membeli “kopi sobek” di warung kelontong. Di antara dafar menu yang ada, istilah seperti Americano, Cappuccino, Espresso, Machiato, semua yang berakhiran dengan vokal “o” begitu asing. Sementara itu, pesanan teman saya yang sampai lebih awal telah tiba. Secangkir kopi dengan buih susu berlukiskan bunga pada permukaannya. “Jadi mau pesan yang mana, Mas?”, tanya pelayan yang baru saja meletakkan pesanan. Saya semakin bingung. Mau tanya nama pesanan yang baru saja sampai, tapi gengsi. Pesan kopi tubruk, tidak ada di dalam menu. “Espresso!”, kata ajaib tersebut muncul setelah membolak-balik daftar menu yang ada, dan harga minuman itu yang paling pas buat kantong saya. “Mau yang single atau double?”, tambah sang pramusaji. Alamak! Espresso saja tak tahu, kok ditanya mau single atau double. Tanpa pikir panjang, “Yang single aja,” jawabku. Pelayan tersebut kembali bertanya, “Mau yang original apa yang blend?” Langsung kujawab, “original”. Ia masih saja berdiri di sampingku. “Untuk yang original, kami ada Gayo, Toraja, Kintamani, dan Wamena.” Kalau ini semacam acara hantu-hantuan, mungkin saya sudah melambaikan tangan ke arah CCTV. Setelah menghela nafas panjang, saya putuskan menjawab Toraja. Setelah pelayan pergi, kami mulai ngobrol santai soal kesibukan masing-masing. Tak lama kemudian pelayan tersebut datang membawa pesanan saya. Seraya mengucapkan terimakasih, saya terperanga melihat secangkir kecil kopi pekat dengan lapisan berwarna keemasan pada bagian atasnya. Kenapa cangkir kopi saya jauh lebih kecil dari milik teman saya. Sudahlah, yang penting ngopi. Meski ia berukuran kecil, tapi aroma yang keluar dari kopi tersebut membuat saya tak tahan untuk segera menyeruputnya. Saya memejamkan mata sembari mengerenyitkan dahi karena tak tahan rasa pahit yang menusuk di lidah. Menurut saya pada waktu itu, rasa espresso tak lebih baik daripada “kopi sobek” yang biasa saya minum saban hari. Begitu pahit. Mungkin dalam benak teman saya, ia tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi saya saat menyeruput espresso. Saya merasa berat jika harus mengeluarkan uang untuk membayar minuman superpahit ini. Tapi ya sudahlah, malu bertanya pahit rasanya. Itu karena kecerobohan saya yang enggan bertanya sebelum memesannya. Beruntung ada gula yang diletakkan pada setiap meja, akhirnya saya pun bisa menghabiskan kopi tersebut. Tak terasa satu jam sudah kami berada di kafe tersebut. Kami pun berpisah. Artikel ini berasal dari tulisan saya di Bincang Kopi Baca juga: Kopi dan Mormon Pengalaman Nyantri dan Ngopi di Mesir Kopi dan Kitab Kuning

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun