Pagi bergegas beranjak menuju siang, saat lelaki renta separuh baya itu duduk di sebuah warung yang dinaungi pohon besar yang rimbun daunnya mengipasi siapa saja yang berada di tempat itu sehingga sesiapapun saja akan merasa begitu nyaman sampai-sampai menerbitkan rasa enggan untuk beranjak dari tempat itu. Sebagaimana halnya lelaki renta separuh baya yang saat itu tengah duduk nyaman ditemani secangkir teh tawar dan beberapa batang rokok kretek. Sesobek kertas yang tak lagi jelas warnanya tergeletak manja didepannya, memaksanya untuk mengernyitkan kening menerjemahkan tanda-tanda yang makin tak terbaca. Entah darimana asal usulnya tiba-tiba saja dihadapan lelaki renta separuh baya itu berdiri seorang anak muda dengan mata berbinar penuh cahaya mempesona menatap lelaki renta separuh baya itu dalam-dalam sembari mengulurkan tangannya.
“Tidak salah lagi, pastilah anda Wisanggeni yang menghilang dari jagad pewayangan itu”. Katanya sambil memberi tanda agar diperkenankan duduk di kursi samping meja tempat lelaki renta separuh baya itu mengunyah mimpi pagi ini.
Hampir saja lelaki renta separuh baya itu tersedak mendengar kata-kata anak muda yang baru saja datang. Belum sempat ia menjelaskan, tiba-tiba saja anak muda itu sudah mengeluarkan setumpuk kertas coklat kekuning-kuningan yang konon dulu ia berujud sebuah buku, namun kini yang nampak hanyalah lembaran-lembaran kertas yang tersusun tak begitu rapi yang ia keluarkan dari tas hitam yang rupanya telah ditentengnya sejak berabad silam. Nampak di beberapa bagian dari tas itu terlihat memudar disapu keringat.
“Mengapa njenengan begitu yakin kalau saya adalah Wisanggeni?” Kata-kata yang kelak akan ia sesali sepanjang jaman karena terlanjur terucapkan.
Tapi siapa yang tak shock, mengetahui ada orang yang begitu sepenuh yakin percaya bahwa aku adalah sosok seperti yang ada dalam anggapannya. Suara itu menggedor bathin lelaki renta separuh baya yang untuk menopang hidupnya sendiri ia mesti menjajakan mimpi-mimpi kemanapun ia pergi.
“Anda tak bisa menyembunyikan diri dihadapan saya.” Kata anak muda itu tegas.
“Maksudnya?”
Kali ini lelaki renta separuh baya itu sungguh-sungguh bertanya karena memang benar-benar tiada ada secuil pengetahuan dalam dirinya untuk mengenali siapakah orang yang begitu yakin dengan persangkaannya ini.
”Kenapa harus sembunyi dari kenyataan sedemikian rupa?” Sambil tersenyum anak muda itu berkata, ”Walaupun Anda memangkas cambang dan jenggot serta memotong rambut panjang Anda, aku tetap yakin Anda adalah Wisanggeni yang telah menggegerkan jagad pewayangan itu.
Setelah sedikit menguasai diri lelaki renta itu lantas mencoba untuk mengikuti cara berpikir tamunya yang aneh itu.
“Begini saja, tentunya kamu telah sangat tau kisahku yang begitu lelah usai bertempur habis-habisan melawan para Utusan Dewa yang hendak melenyapkanku karena kelahiranku dianggap sebagai sebuah penyimpangan dalam hukum sejarah pewayangan.”
Mata anak muda itu nampak makin berbinar, maka lelaki renta itu makin bersemangat, ”Pastilah kamu, siapapun dirimu dan dari mana asal-usulmu tak akan tega membiarkan Wisanggeni mati kehausan bukan?”
“Tentu saja. Aku akan melakukan apa saja demi putra Arjuna dan Dewi Dresanala sang bidadari kahyangan”. Kata anak muda itu kali ini dengan debar yang terasa aneh.
“O ya? Kalau begitu, karena Wisanggeni kehausan bagaimana kalau kau traktir Cucu Bathara Brahma ini secangkir kopi pahit, bilang sama mbak-mbak di kantin itu kopi yang biasa diminum mas Catur, jangan bilang kopi buat Wisanggeni, mereka akan pingsan berabad lamanya kalau kau bilang demikian.” Kata lelaki renta separuh baya itu meyakinkan.
Sesaat setelah anak muda itu berlalu menuju ketempat mbak-mbak kantin memanjakan mimpi dengan ngerumpi, karena siang ini warung di bawah pohon besar itu nampak lengang, Lelaki renta separuh baya itu meneruskan pergulatan pikirannya. Siapakah dia, anak muda yang sangat yakin bahwa aku ini Bambang Wisanggeni, yang kehadirannya pun tak pernah terpikirkan oleh Vyasa sang kreator dan bahkan tak pernah sempat tertorehkan dalam lontar di Wiracarita Mahabaratha.
Setelah menyeruput kopi yang lumayan pahit namun encer bikinan mbak-mbak kantin dan menghisap rokok kretek pemberian anak muda yang mengaku datang dari tanah seberang yang menurut sahibul hikayat bernama Swarna Dwipa itu, lelaki renta separuh baya itupun meneruskan perbincangan yang aneh namun agaknya mulai dirasakannya asyik ini.
“Kenapa Anda memilih Yogyakarta sebagai tempat persembunyian?” Tanya anak muda itu bersemu ragu.
“Sebetulnya tak ada niatku untuk tinggal berlama-lama dan menetap seterusnya di kota yang mulai pangling pada dirinya sendiri ini, namun setelah perbincangan terakhir dengan Sri Bathara Kresna, usai aku urung menghajar Manik Maya si Bathara Guru yang memberi perintah anak buahnya untuk melenyapkan diriku karena dianggap aib Kahyangan, aku mulai berpikir kenapa harus memaksakan diri buat eksis di jagad pewayangan, sebuah tempat yang tak juga memberiku kelayakan buat memenuhi kebutuhan hidup itu. Maka biarlah aku lenyap selamanya dari tempat yang mengucilkan dan mengecilkan kehadiranku itu, asal jagad pewayangan dapat terus berlangsung.”
“Waw..Anda betul-betul sosok pahlawan yang heroik dan progresif.” Kata anak muda itu sembari menyorongkan korek demi melihat lelaki renta separuh baya yang kebingungan untuk menyalakan sebatang rokok yang telanjur nongkrong di bibirnya itu.
“Julukan itu tak penting buatku. Mau dianggap pahlawan atau bajingan, aku ya tetap aku.” Kata lelaki renta separuh baya itu sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek yang harus diakuinya begitu dahsyat rasanya itu. Merknya saja GANJA RATU alias Gari Njaluk Rasah Tuku, yang kalau dibahasakan secara nasional kira-kira; tinggal minta nggak usah beli.
“Lalu kenapa anda memilih nama Catur dari Condongcatur?”
“Ah, itu untuk menyederhanakan penyebutan serta biar mudah diingat saja, sebagaimana Ayu dari Bumiayu atau Sari dari Wanasari.”
Setelah reda ketawanya, anak muda itu melanjutkan tanya,”Tapi kenapa Anda tak memilih Karta atau Yoggy dari Yogyakarta, misalnya?”
“Biar saja. Sama juga kenapa aku tak memilih nama Cathak dari Tegalcathak maupun Galuh dari Samigaluh misalnya.” Berkata lelaki renta separuh baya itu sambil terkekeh berirama.
Hari belum telanjur gelap, saat lelaki renta separuh baya itu menggamit lengan anak muda itu untuk diajak bertandang ke pondokannya di ujung selatan timur kota. Dalam perjalanan menuju pondokannya, lelaki renta separuh baya masih saja tak habis pikir, kenapa di era meruyaknya cyber seperti ini, masih saja ada orang yang begitu percaya bahwa dia ini adalah sosok yang rela menghilang dari jagad pewayangan dan memilih hidup sunyi dalam hiruk pikuk Jogja. Bisa saja ia terpengaruh novel Seno Gumira Ajidarma yang melukiskan pelarian Wisanggeni menuju ke satu tempat yang indah dengan sebuah istana yang diapit dua alun-alun dan terletak diantara gunung dan pantai. Tapi kenapa anak muda ini harus berpikir bahwa itu Jogja. Bukankah banyak tempat di dunia ini yang mirip-mirip tempat yang di gambarkan dalam paragraf terakhir dari novel itu. Aneh-aneh saja.
Setelah mandi dan makan malam seadanya di warung angkringan ujung kanan luar jalan. Anak muda itu nampak kelelahan dan kekenyangan serta memohon ijin untuk menumpang tidur lantaran kantuk yang menyergapnya tanpa ampun. Suara dengkurnya serupa mesin pemotong kayu membuat lelaki renta separuh baya itu sulit memejamkan mata. Gelisah karena tak bisa istirahat, lelaki renta separuh baya itu menimbang-nimbang untuk melakukan tindakan darurat. Akhirnya dengan satu cekikan, cukuplah untuk menghentikan nafas Utusan Dewa yang hendak membawa lelaki renta itu kembali kehadapan Bathara Guru yang sungguh-sungguh tak patut digugu dan ditiru lantaran terpengaruh provokasi Bathari Durga istrinya yang hendak mengawinkan putranya Dewasrani dengan ibu Dewi Dersanala. Sampai-sampai eyang Bathara Brahma membuangku, cucu yang mestinya dicintainya setengah mati ini ketengah samudra. Untung saja Sang Hyang Wenang mengirimkan Antaboga sang penguasa samudera memeliharaku sampai kesaktianku tak tertahankan untuk bikin huru-hara di kahyangan tempat para dewa meratifikasi aturan yang sungguh tak masuk akal. Bayangkan saja, dengan memiliki kombinasi tiga kekuatan Gatotkaca, Antareja dan Antasena. Maka para dewa itupun akan berpikir ulang untuk terang-terangan mengadu laga bersamaku di arena manapun. Aku menjadi sosok yang mengerikan bagi mereka. Terutama bagi Bathara Guru dan antekanteknya.
Maka dengan mengerahkan segenap kekuatan, cukup dengan satu hentakan pukulan paripurna, lebur luluh tubuh Utusan Dewa itu menjadi seonggok debu yang segera ku sapu buru-buru agar tak mengotori lantai kamarku.
Aku masih saja tercenung memikirkan lintasan peristiwa yang melesat melompat-lompat begitu cepat sampai ku dengar suara ketukan di pintu, rupanya Pak Kostku datang berkunjung untuk sekadar menanyakan, apakah bulan depan aku masih berminat melanjutkan kost di tempat ini?
Gang Ungaran November 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H