Mohon tunggu...
Catur Sigit Nugroho
Catur Sigit Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

Hobi baca, lihat berita, Blogging.\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ancaman Penarik Pajak

3 Desember 2010   03:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, banyak kalangan membicarakan masalah pajak, sampai-sampai pedagan sekelas warteg akan di kenai pajak dan mungkin kedepannya pedagang kaki lima akan di kenakan pajak juga. Saya percaya mereka pemilik warteg ada yang punya penghasilan besar.  Tapi yang terjadi, jika pemerintah memberlakukan pajak 10% seperti yang ada di restoran besar , bagaimana nasib para kuli-kuli yang biasa makan di warteg?. Saya yakin, pengusaha warteg pasti akan menaikan harga dagangannya, sehingga akhirnya rakyat kecil lah yang makin sengsara.



Bagaimana sebenarnya hukum pajak dalam kacamata syariah?.

Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat  balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Dalam istilah islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama-ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Maks. Disana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah:

a.  Al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan islam)

b.  al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara)

c.  al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara islam)

Pendapat Ulama Tentang Pajak

Kalau kita perhatikan istilah-istilah diatas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan islam sebagai jaminan keamanan. Makannya ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya.

Pendapat pertama :

Menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda:

“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat.” (HR Ibnu Majah, no 1779, dhaif)

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dzalim. Dari Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah bersabda, “Demi dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni.”(HR Muslim, no: 3208)

Rasulullah bersabda :

“Tidak akan masuk syurga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).”(HR Abu Daud, no:2548, hadist ini dishahihkan oleh Imam al Hakim)

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kaum muslim secara zhalim dan semena-semena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalamMaratib al Ijma’, Imam Dzahabi di dalam bukunyaAl-kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalamaz-Zawajir’an Iqtirafi al kabairdan lain-lainya.

Pendapat kedua :

Menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantaranya ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam al Juwaini di Ghiyats al Umam hlm: 267, Imam Ghazali di dalam al-Mustasyfa: 1/303, Imam Syatibi di dalam al I’tishom: 2/619.

Syarat-syarat pemungutan pajak

Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari umat islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah seagai berikut:

1.Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.

2.Tidak ada sumber lain yang biasa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.

3.Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendekiawan dan tokoh masyarakat.

4.Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin.

5.Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang mendesak saja.

6.Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.

7.Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.

Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa Sultan Dhahir Baibes yang pada waktu itu berkuasa di Mesir berniat memungut pajak dari rakyat Mesir (tentunya yang kaya-kaya) untuk membantu pengadaan peralatan militer untuk melawan serangan pasukan Tatar. Sultan Dhahir Beibes mengumpulkan para ulama dan hasilnya semua setuju, kecuali Imam Nawawi yang memberikan syarat, Sultan harus mengeluarkan kekayaan yang dimilikinya dan yang dimiliki para pejabat lain terlebih dahulu, sebelum memungut pajak dari rakyat.

Apakah pajak hari ini sesuai dengan islam?.

Apakah pajakhari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan ulama atas?. Maka jawabannya adalah tidak, hal itu dengan beberapa sebab:

1.Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara langsung akan membebani rakyat kecil.

2.Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah DPR, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.

3.Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.

4.Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.

5.Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.

6.Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapatan Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan negara dan rakyat.

Dari keterangan diatas menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu a’lam.

Tulisan terdahulu :

Gaji PNS Haram

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun