Dari letusan Merapi pada akhir 2010 dan awal 2011 ancaman bencana bukan hanya dirasakan masyarakat di lereng gunung saja. Tetapi juga yang masyarakat Kota Yogyakarta yang berjarak lebih dari 20 km dari pusat erupsi. Ancaman bahaya sekunder berupa banjir lahar dingin kemudian terjadi setelahnya. Begitu terjadi hujan deras di sekitar Gunung Merapi, sudah dipastikan bahwa rumah di kanan-kiri Sungai Code tergenang.
Namun belajar dari itu semua, masyarakat yang merasa senasib dan kemudian bergerak bersama untuk siap dan siaga menjaga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Banyak tatanan praktis yang kemudian muncul dalam mengantisipasi banjir. Yang pasti masyarakat memetik pelajaran yang kemudian diterapkan di rumah mereka masing-masing dan lingkungannya. Kalau pun memang banjir terjadi tidak akan berkibat parah pada jiwa dan harta benda meraka.
Hal-hal yang kemudian menjadi panduan masyarakat dari banjir lahar dingin Sungai Code adalah :
1.Sungai Code secara geografis adalah sungai yang berhubungan langsung atau berhulu di sungai Boyong yang terletak di lereng Gunung Merapi. Hujan atau mendung yang terjadi di daerah utara Kota Yogyakarta adalah sinyal awal keadaan bahaya. Maka sebelum terjadi banjir masyarakat telah siap-siaga terhadap kemungkinan banjir terjadi.
Biasanya naiknya permukaan air terjadi secara bertahap. Jadi masyarakat juga menyiapkan personil untuk memantau keadaan di utara melalui radio komunikasi. Orang yang bertugas biasanya telah bergabung dengan komunitas radio amatir seperti Pare Anom, Code X, Bale Rante sehingga etika komunikasi radio telah dikuasai. Komunitas ini juga banyak memberikan informasi secara dini tentang kenaikan permukaan air ini di daerah hulu. Begitu informasi di dapat maka akan disampaikan kepada masyarakat melalui pengeras suara atau sirine peringatan dini.
2.Bahwa banjir lahar dingin adalah banjir yang membawa material vulkanik berupa abu, pasir, ,kerikil, kerakal sampai batu-batu besar hingga kayu. Material ini yang kemudian akan tersedimentasikan di sepanjang sungai, sehingga akan ada pendangkalan sungai secara drastis. Sungai yang sebelumnya dalam menjadi dangkal, sehingga air yang mengalir tidak tertampung dengan volume yang besar. Air akan luber menuju rumah-rumah karena penyusutan volume sungai. Masyarakat kemudian secara gotong –royong akan mengurangi hasil sedimentasi sungai sehingga volume sungai tetap besar. Juga masyarakat memperbaiki tanggul sungai atau meninggikan jika dirasa perlu.
Terkait dengan ini, adalah masalah saluran limbah rumah tangga atau sistem drainasi yang biasanya disalurkan ke sungai. Pada waktu permukaan air sungai naik, yang terjadi adalah kedudukan saluran ini akan lebih rendah dari permukaan air sungai sehingga saluran ini yang akan menjadi sumber keluarnya air sungai menuju ke rumah atau lingkungan sekitarnya. Kasus yang terjadi selama ini, biasanya air sungai masih bisa tertahan tidak masuk perumahan warga oleh tanggul sungai. Tetapi terlihat sudah banyak genangan air di rumah warga. Ternyata air sungai yang naik tersalurkan melalui saluran limbah warga dan gorong-gorong yang melalui tengah-tengah perumahan. Masyarakat kemudian membangun sistem saluran limbah rumah tangga atau drainasi yang bisa dibuka dan ditutup, sehingga arus yang membalik dari sungai akan tertahan oleh penutup.
3.Selama banjir terjadi tentu tidak semua tempat akan tergenang. Ada jalan yang aman untuk dialaui. Jalan dan tempat inilah yang kemudian dijadikan jalur evakuasi warga dan tempat titik kumpul evakuasi. Pada tempat-tempat yang mencolok dan gampang terlihat dipasang rambu-rambu atau skala kenaikan permukaan air. Sehingga masyarakat setempat atau luar akan tahu dimana tempat yang dalam dan tidak bisa dilalaui. Memasang di jalur-jalur evakuasi tali-tali untuk pegangan karena biasanya berjalan melalui air tergenang akan lebih menguras tenaga dan gampang untuk tergelincir. Juga sebagai antisipasi terhadap warga yang tidak bisa berenang.
Pada titik kumpul atau tempat pengungsian warga menyediakan kebutuhan dasar hidup selama beberapa hari. Mengantisipasi jika banjir yang terjadi akan berlangsung lama dan bantuan belum bisa datang. Juga tempat menyimpan peralatan yang diperlukan dalam situasi sebelum banjir, pada saat banjir dan sesudah banjir.
4.Saat banjir terjadi biasa menimbulkan kepanikan terutama pada anak-anak. Perlu orang-orang yang baisa menghadapi situasi seperti ini. Orang ini yang kemudian di masyarakat biasa dijadikan gugus tugas di wilayah setempat. Memasang besar-besar papan gugus tugas bencana di titik kumpul atau pengungsian, agar orang yang memerlukan bisa tahu siapa yang harus dicari. Gugus tugas juga bekerjasama dengan intansi lain dari pra banjir hingga paska banjir.
5.Memang dari semua cara yang tidak lupa diupayakan adalah dengan mengadakan pelatihan terhadap warga bagaimana menghadapi banjir. Kegiatan semacam ini memang tidak pernah menarik animo masyarakat untuk diselenggarakan. Apalagi masyarakat yang dengan kehidupan kota yang banyak berada di luar rumah. Situasi pra banjir tidak banyak digunakan untuk menghadapi banjir. Padahal ini adalah waktu yang tepat untuk mengkaji dan membenahi sistem kesiap-siagaan terhadap bencana. Menyadari akan itu maka masyarakat selalu membahas permasalahan banjir setidaknya dalam pertemuan warga sebulan sekali. Meski juga hanya sekedar menambah pengetahuan tentang bagaimana mengoperasikan pompa air atau melakukan medis praktis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H