Masyarakat di sebuah Kampung di wilayah Jalan Tamansiswa Yogyakarta, saat itu menjadi ramai oleh beredarnya sebuah kabar. Kabar yang dirasa bisa menjadi baik-buruknya keadaan. Pasalnya sebentar lagi di wilayah dekat pemukiman mereka akan dibangun sebuah hotel bintang lima. Bisa menjadi baik karena ada harapan modal dari kapitalis ini akan membawa imbas kesejahteraan pada mereka. Tetapi buruknya, seperti pembangunan pada umumnya, akan ada yang dikorbankan. Paling tidak masalah polusi suara yang mengusik ketenangan masyarakat. Tetapi yang paling menjadi kekawatiran masyarakat adalah kebutuhan akan airdan sumur mereka yang mengering.
Kekawatiran warga ini sangat beralasan. Mengingat kebutuhan air di hotel akan sangat jauh lebih besar dibanding dengan masyarakat sekitar. Dengan demikian sumber air yang digali juga akan lebih dalam dibanding dengan sumur milik warga. Rata-rata sumur warga sebelumnya hanya berkedalaman maksimal 12 meter, kini harus ditambah kedalamannya menjadi 15 meter. Ini berarti bahwa muka air tanah sudah semakin turun. Air tanah terkonsentrasi pada sumur hotel yang mempunyai kedalaman sekitar 80 meter. 65 meter lebih dalam dari sumur masyarakat.
Pembangunan hotel ini adalah salah satu permasalahan yang muncul dari mudahnya Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan ijin pendirian hotel. Hotel menjadi marak dibangun di hampir seluruh wilayah kota. Kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi kontra produktif karena masyarakat kota harus berebut air dengan pihak hotel. Ini menjadi kekawatiran yang mendalam bagi sebagian masyarakat. Hingga muncul gerakan yang disebut dengan “Yogya asat”
Namun patut disayangkan bahwa gerakan ini hanya bersifat protes terbuka oleh sebagian dari masyarakat yang mempunyai kesadaran akan gawatnya keadaan ini. Masyarakat yang ada di sekitar hotel, justru semakin bingung. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana?. Masyarakat harus bergerak sendiri menentang terusiknya sebuah kenyamanan. Air yang sudah berpuluh keturunan mereka nikmati secara cuma-cuma, dan berlimpah, kini terancam untuk tidak bisa dinikmati. Maka dengan segala upaya mereka melawan pembangunan hotel, seperti yang dilakukan masyarakat tersebut di atas.
Hal-hal yang kemudian dilakukan oleh masyarakat di Jalan Tamansiswa itu antara lain:
·Membentuk Gugus Tugas Pemantau Pembangunan Hotel
Sebenarnya pihak hotel sebelumnya sudah melakukan sosialisai kepada masyarakat melalui perwakilan dari Ketua RT dan RW di sekitarnya. Dalam sosialisasi ini diketahui rencana pembangunan hotel.
§Hotel yang semula hanya bintang 2 akan naik kelas manjadi bintang 5
§Bangunan fisik akan diperluas dengan banguan gedung 20 lantai dan dengan adanya basement.
§Kebutuhan air akan menggunakan sumur yang penggaliannya sampai zona tekan (artesis) dengan demikian tidak mengganggu sumur milik masyarkat.
Dari tiga hal di atas maka jelas bahwa keadaan sumur masyarakat akan sangat terganggu. Dengan memperluas bangunan hotel maka secara matematis akan bertambah pula volume dari kamar hotel. Dari ratusan bisa menjadi ribuan. Bisa kita hitung berapa kebutuhan air yang akan dipakai memenuhi kebutuhan tamu-tamu hotel.
Kemudian dengan adanya basement maka jelas bangunan akan masuk ke dalam tanah paling tidak 15 meter dengan pondasinya. Kedalaman ini tentu saja akan sejajar atau lebih dalam dari sumur masyarakat. Kecenderungan aliran air tanah di Yogyakarta adalah arah utara-selatan agak serong ke barat daya. Dengan demikian sumur yang posisinya berada di utara-timur hotel akan terganggu.
Sumur artesis adal sumur yang dalam. Secara fisik sumur ini akan menyemburkan airnya walau tanpa dipompa ke atas. Tetapi karena dalamnya maka sangat jarang orang menggunakan karena pertimbangan biaya yang dikeluarkan. Masyarakat yakin bahwa pemangunan ini dilaksanakan melalui tender. Dan pemenang tender tidak mau merugi dengan hal ini. Maka pengeboran sumur akan berhenti jika telah memperoleh air,
Dengan pertimbangan-pertimbangan seperti ini maka masyarakat membentuk sebuah gugus tugas yang fungsi utamanya mengawasi jalannya pemabagunan hotel dengan berpegang pada referensi-referensi di bidang:
Bidang Bangunan / Teknik Sipil
Bertugas memantau pembangunan yang mengacu pada baku-baku teknis sebuah bangunan yang aman.
Bidang Geologi/ Hidrologi
Bertugas memantau pembangunan yang mengacu pada keadaan tanah terutama air. Memantau bagaimana pengeboran sumur benar-benar sampai pada zona tekan.
Bidang Advokasi / Perlindungan Hukum
Bertugas meberi perlindungan hukum kepada masyarakat. Dalam hal ini bukan hal yang tidak mungkin masyarakat akan mendapatkan perlawanan hukum atau intimidasi.
·Menyatukan Komitmen
Selain intimidasi hal yang pal;ing mungkin adanya gratifikasi terhadap masyarakat. Untuk memperoleh Ijin Mendirikan Bangunan tentu saja butuh persetujuan dari warga sekitar. Pihak hotel dengan persediaan dana yang lebih, akan memanfaatkan keadaan ekonomi warga. Dengan sedikit iming-iming materi, masyarakat kemudian luluh dan memeberikan tanda-tangannya. Jika ini terjadi maka semua upaya di atas akan tidak berguna. Maka jauh-jauh hari masyarkat sudah saking mewanti-wanti untuk menyatukan komitmen, menolak pembanguan hotel.
·Menghimpun Dukungan
Bentuk dari hal ini adalah mengumpulkan tanda-tangan dukungan dari masyarakat sekita hotel. Dari kumpulan tanda-tangan ini kemudian disatukan dan disampaikan ke DPRD II Kota Yogyakarta. Ini dimaksudkan agar pihalk yudikatif bisa menekan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk meninjau kembali ijin pembanguanan hotel dan segera menjabut ijin tersebut.
Hal yang lain dilakukan adalah mengekpose dampak yang ditimbulkan ke media massa. Selain bisa menjadi penekanan pembangunan juga sebagai penyatuan pergerakan dari masyarakat yang kesamaan kondisi. Dengan demikian pergerakan akan menjadi lebih masif sehingga lebih mudah mendapatkan hasil.
Dan syukur setelah beberapa lama kekawatiran masyarakat terjawab dengan adanya pembatalan pembangunan hotel. Pihak investor yang mendanai kemudian menarik dananya karena mengetahui permasalahan dalam pembangunan ini. Masyarakat sekarang bisa bernafas lega. Sebuah perjuangan dari masyarkat yang menginginkan dan merasakan kesejukan air di tumpah darahnya sendiri bisa dirasakan juga oleh anak-cucunya nanti. Anak-cucunya yang esok bisa melihat menyaksikan sumur-sumur di pekarangan rumah itu tetap bergericik. Sebuah Kenyamanan yang tidak ingin terusik sampai akhir nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H