Bagi masyarakat Jawa Tengah, Jogjakarta dan sekitarnya pasti tidak asing lagi dengan yang namanya Angkringan ~ tempat kuliner berbentuk gerobak dorong. Entah mengapa disebut angkringan? Mungkin dari kata nangkring alias nongkrong santai. Memang nangkring di angkringan sangat mengasyikkan karena sambil makan kita dapat ngobrol bebas.
Angkringan yang saya dan kaka Eka temui di daerah Sentul ini tidak jauh berbeda dari tempat asalnya, baik bentuk maupun ragam makanan dan minumannya. Namun yang sedikit berbeda dan membuatnya istimewa adalah penjualnya. Mengapa begitu? Ikuti terus kisahnya ya!
Seperti biasa saat kami kumpul untuk makan bareng, pasti tidak pernah lepas dari urusan literasi dan pendidikan. Perbincangan lepas tentang menulis dan program KAGUM yang mengalir begitu saja nampaknya diperhatikan seksama oleh sang penjual angkringan ini hingga akhirnya ia pun melibatkan diri pula dalam perbincangan kami.
Yang membuat kami heran adalah di sela-sela perbincangan, si penjual ini meminta pada kaka Eka agar bersedia mengirimkan tulisan-tulisannya ke emailnya sambil ia menyebutkan alamat email miliknya. Wow very surprised me! ...Seorang penjual angkringan punya email? Apakah Anda punya email? Jika tidak punya email, maaf Anda kalah dengan si penjual angkringan ini.
"Mas suka menulis juga?" Tanya saya. "Oh tidak Pak. Saya hanya suka membaca", ujarnya. "Saya hanya pernah menulis skripsi" lanjutnya. "Wow..amazing" batin saya. "Berarti Anda itu sarjana?" Tanya saya lagi.
"Ya, Pak" jawabnya. "Saya kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Tengah", lanjutnya. Yang mengejutkan kami, ternyata ia alumnus jurusan kurikulum dan teknologi Pendidikan. Pantas saja, ketika kami ngobrol tentang teori Piaget, ia memperhatikan dengan serius dan seksama. Oh,..rupanya ia juga mengerti dan paham apa yang sedang kami perbincangkan.
Menurut si penjual Angkringan, ia suka membaca, dan belajar dari siapa saja yang datang ke warungnya. Pernyataan terakhir sungguh menohok kami, karena terkadang banyak orang sering meremehkan orang lain, dan sudah merasa pintar sehingga tidak mau belajar dari siapa saja.
Menambah rasa penasaran, kami pun teruskan perbincangan, dan akhirnya tahu lebih dalam bahwa ia dulu juga seorang guru yang pernah mengajar di salah satu sekolah favorit di Jakarta, meski hanya digelutinya selama setahun saja. Karena idealismenya, ia akhirnya memutuskan berhenti jadi guru dan akhirnya berwirausaha menjadi pedagang Angkringan hingga kini.
Maghrib pun tiba. Sang pedagang Angkringan yang masih muda ini langsung pamit menggelar sajadah di belakang dagangannya untuk melaksanakan kewajiban beribadah. Mengesankan! Hari ini begitu banyak pelajaran yang kami dapat dari si penjual angkringan yang mantan guru ini. Pelajaran bagaimana sabar dan ulet dalam berdagang, menjaga ibadah, belajar dari siapa saja, dan yang terpenting semangat menjalani hidup. Meski masih muda dan tidak lagi menjadi guru formal, tapi bagi saya, sang penjual ini telah mengajarkan banyak hal sore ini. Terutama tentang perjuangan dan semangat hidup.
Kami pun berjanji akan menuliskan tentang kisah pertemuan di angkringan sore itu. Tak lama berselang kami pamit meneruskan perjalanan dan  mampir sholat di masjid Walisongo yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat itu.
Sentul, 22 Mei 2016