Sepekan ini, dunia Pendidikan kembali berduka. Semua tersentak. Kembali seorang pelajar SMP terbujur kaku di pinggir jalan sekitaran terminal Bubulak Bogor. Tubuhnya terkena sabetan benda tajam. Â Menurut berbagai sumber, disinyalir pelajar ini korban dari tawur atau perkelahian massal. Aparat sigap bertindak dan mengamankan beberapa pelaku.Â
Dari penyelidikan aparat seperti dikutip dari berbagai media, para pelajar ini sengaja diadu berkelahi dan divideokan kemudian diunggah di berbagai saluran media sosial. Miris ya? Apakah ini salah satu contoh kegagalan pendidikan kita? Mungkin terlalu jauh jika kita beranggapan seperti itu. Apalagi jika hanya menjadikan sekolah sebagai satu-satunya yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian pelajar tawuran. Tetapi tidak bijak juga jika sekolah lepas tanggung jawab sebagai sebuah lembaga sosial yang bertugas mengembangkan kepribadian anak melalui proses pendidikan.
Menurut pendapat penulis, ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab dan saling kerjasama untuk membendung tawur yang menjadi salah satu perilaku negatif anak.
Pertama, orang tua menjadi pihak penting dalam membendung energi negatif anak dan menyalurkannya secara benar. Tidak gampang memang berperan sebagai orang tua. Tidak ada sekolahnya orang tua. Keteladanan ayah dan ibu menjadi kata kunci agar peran orang tua sebagai pendidik utama seorang anak dapat berjalan dengan baik dan sesuai fungsinya memberikan afeksi atau perasaan kasih sayang kepada anak. Dengan menumbuhkan perasaan kasih sayang kepada anak maka emosi anak akan tumbuh terkendali dengan baik.
Kedua, pihak sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua memiliki peran dan tanggung jawab mendidik seorang anak selain di rumah. Sudahkah sekolah menjadi rumah nyaman kedua bagi anak? Pendeteksian secara dini perilaku anak yang negatif harus terus menerus dilakukan. Kerjasama dengan pihak terkait seperti satgas pelajar, aparat keamanan di lingkungan setempat (bimas) hingga tingkat polsek, dan intelejen harus terus menerus dilakukan.Â
Jangan hanya ekstra kerja keras jika ada kejadian saja. Pembinaan dan pengawasan terhadap anak didik tentang bahaya perkelahian pelajar oni harus terus menerus menjadi agenda rutin sekolah. Adakan kegiatan pertandingan persahabatan antarsekolah atau perbanyak kegiatan ekstrakurikuler yang positif untuk menghabiskan energi anak didik di sekolah sehingga mereka tidak menyalurkan energinya dengan menunjukkan perilaku negatif di luar sekolah.
Ketiga, lingkungan masyarakat menjadi pihak pendukung penting untuk mengikis perkelahian pelajar ini hingga ke akar-akarnya. Kepedulian masyarakat dalam memantau, mengawasi bahkan melaporkan gejala-gejala aneh para siswa yang berkumpul dan berpotensi memicu timbulnya tawuran.
 Sosialisasi kepada masyarakat penting dilakukan terutama nomor pihak-pihak aparat keamanan terkait dalam upaya membendung maraknya peristiwa tawur pelajar. Pihak aparat keamanan perlu dibantu diberikan informasi dari masyarakat sekiranya dijumpai gejala pemicu tawur pelajar di jalanan dan di tempat nongkrong para pelajar di jam-jam pulang sekolah terutama di akhir pekan.
Ketiga pihak tersebut, menjadi pihak yang penting untuk membentengi anak-anak didik dari bahaya tawur pelajar yang merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial. Pendidikan karakter harus diimplementasikan jangan hanya sekadar slogan. Anak didik kita harus merasakan manisnya pendidikan agar terbentuk generasi masa depan bangsa yang lebih baik. Jangan biarkan pendidikan berasa tawar, karena ini dapat menjadikan tawur pelajar tak kunjung berhenti. Pengawasan dan pembinaan terus menerus harus dilakukan dengan mengedepankan kerjasama dan sinergi dengan semua pihak.
Wallahualam bishowab
Semplak Bogor, 4 Agustus 2018