Pada Sabtu, 4 Desember 2021 pukul 15.00, Gunung Semeru meletus dan mengeluarkan awan panas guguran. Seperti dilansir oleh CNN Indonesia, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa meminta warga untuk menyelamatkan diri setelah Gunung Semeru mengalami erupsi dan terjadinya hujan abu di sekitar Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, serta Supiturang, Pronojiwo, Lumajang.
Berdasarkan catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), guguran lava pijar teramati dengan jarak luncur kurang lebih 500-800 meter dengan pusat guguran berada kurang lebih 500 meter di bawah kawah. Dampak erupsi paling parah dirasakan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Diketaui dua kecamatan di Lumajang gelap gulita, yakni Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro.
Dilansir dari Kompas.id, hingga Kamis, 9 Desember 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, 2.970 rumah rusak dan 3.026 hewan ternak mati. Adapun kerusakan lainnya mencakup 42 unit sarana pendidikan, 17 sarana ibadah, 1 fasilitas kesehatan, dan 1 jembatan.
Erupsi Gunung Semeru pun mengakibatkan korban jiwa, di mana 46 orang dinyatakan meninggal dunia, 9 orang masih dinyatakan hilang, 18 orang mengalami luka berat dan 12 orang mengalami luka ringan. Sementara itu, jumlah warga yang mengungsi akibat erupsi Gunung Semeru saat ini tercatat mencapai 9.374 jiwa. Data ini dilansir dari CNN Indonesia, Senin, 13 Desember 2021.
Erupsi Gunung Semeru merupakan bencana alam berskala besar yang jarang terjadi namun menimbulkan dampak yang sangat besar ketika terjadi. Terjadinya erupsi memang tidak dapat dicegah, akan tetapi dampak yang ditimbulkan dapat diminimalisir.
Banyak orang bertanya-tanya, mengapa tidak ada mitigasi seperti peringatan dini sebelum erupsi Gunung Semeru terjadi? Jika ada peringatan dini maka tidak seharusnya muncul korban jiwa dari peristiwa tersebut. Dengan munculnya korban jiwa dan kerusakan yang begitu besar, tentu belum ada manajemen risiko yang memadai.
Berdasarkan konteks risiko di atas, artikel ini akan mengkaji lebih dalam tentang peristiwa erupsi Gunung Semeru dari segi Manajemen Risiko berbasis ISO 31000. Untuk mengindentifikasi risiko, harus dimulai dari merumuskan kejadian risiko. Melalui konteks risiko yang menjelaskan peristiwa erupsi Gunung Semeru, yang menjadi kejadian risiko adalah timbul korban jiwa.
Risk owner dari kejadian risiko tersebut adalah pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kabupaten Lumajang yang menjadi lokasi Gunung Semeru.
Terdapat beberapa akar penyebab dari timbulnya korban jiwa dalam peristiwa erupsi Gunung Semeru atau pun gunung-gunung api lainnya.
- Tidak ada peringatan dini. Erupsi gunung berapi dapat diprediksi sebelumnya berdasarkan kemunculan tanda-tanda alam. Oleh karena itu, peringatan dini harus disampaikan kepada warga sekitar agar segera menyelamatkan diri. Tidak adanya peringatan dini akan membuat warga panik dan kebingungan ketika bencana tiba-tiba datang dan terjadi begitu cepat. Akibatnya, warga tidak sempat menyelamatkan diri.
- Terdapat pemukiman di lokasi rawan bencana. Tidak seharusnya pemukiman didirikan di lokasi rawan bencana, seperti di lokasi rawan bencana Gunung Semeru. Jika terjadi erupsi, maka warga yang tinggal di pemukiman tersebut akan lebih sulit untuk menyelamatkan diri sehingga dapat meningkatkan jumlah korban jiwa.
- Kurangnya sosialisasi. Banyaknya masyarakat yang tidak diedukasi untuk siap siaga menghadapi bencana akan meningkatkan jumlah korban jiwa karena ketika bencana terjadi, mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Indikator terjadinya kejadian risiko adalah timbulnya kerusakan besar pada pemukiman penduduk di sekitar lokasi erupsi. Bencana alam yang besar akan menimbulkan kerusakan yang besar, sehingga apabila terdapat pemukiman penduduk di sekitar lokasi erupsi, kemungkinan besar menimbulkan korban jiwa.