Baru saja suara nyaring Tadarus dari musholla sebelah, berhenti. Tak sampai semenit mengalun nyaring suara musik. Mau berontak rasanya, malam sudah larut tapi tak henti-hentinya suara yang amat keras menerobos ke dalam kamarku. Dalam hati, aku berharap semoga mereka yang melulu menggunakan speaker atau sounsystem di tengah kepadatan kota akan paham bahwa ketergantungan pada rupa teknologi itu tak ada relevansinya dengan derajat keimanan, keheningan hati, apalagi kesungguhan perubahan perilaku. Jika tidak peka pada lingkungan sekitar apakah wujud keimanan? Begitu tanyaku dalam batin. Tak lama kemudian seruan laki-laki memanggil, “Bapak-bapak, ibu-ibu, para remaja, warga RT 01 RW 02 Nginden Jangkunganyang saya hormati, saya harap segera berkumpul di lokasi yang telah disiapkan. Kita akan segera memulai malam renungan kemerdekaan!” Kalimat ini diulang-ulangnya, tentunya supaya makin banyak warga yang datang berkumpul. Tak lama kemudian, sekitar 10 menit mulai dibacakan susunan acara yang dibuka dengan doa bersama. Aku hanya mendengar dari dalam kamarku, hampir seluruh rangkaian acara malam itu.
Ada dua hal yang menarik, pertama soal pidato atau lebih tepatnya petuah-petuah yang disampaikan terkait kemerdekaan, kedua soal momen penghujung malam renungan yang amat membanggakan bagiku.
“Urip iku pasti mati’ne, tapi piye carane nggolek sangu’ne urip. (Hidup itupasti menghadapi mati, tapi bagaimana caranya mencari bekal untuk hidup)” Menurutku, petuah yang ini, menyimpulkan tiga hal penting dari yang disampaikan oleh si penyampai renungan;
Pertama, ajakan untuk bekerja. Ia menyampaikan bahwa kemerdekaan bangsa kita diperjuangkan oleh para pendahulu atau nenek moyang kita, demi kehidupan yang lebih baik. Ketika kemerdekaan itu telah diperjuangkan dengan susah payah, penuh pengorbanan dan telah diraih, maka tugas kita selaku penerusnya adalah mengisi kemerdekaan itu. Caranya dengan bekerja. Ia mengatakan, “Ada diantara kita yang pedagang bakso, pedagang mie, berjualan sembako, punya fotokopi, tidak apa-apa. Bukan soal jenis pekerjaannya,yang penting pekerjaan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh . Bekerja dengan sungguh-sungguh bukan sekedar tiap hari melakukan hal yang sama dan berulang-ulang. Kesungguhan yang dimaksudkan oleh si tokoh lokal itu adalah menjaga kedisiplinan, jujur dan mau belajar. Seringkali belajar bukan pilihan pada umumnya orang, apalagi bagi yang telah bekerja. Belajar bisa dari pengalaman orang lain, bisa mencari pengetahuan baru, membuat hal yang baru dan tidak takut menjawab tantangan. Hanya berusaha dan berusaha menjadi lebih baik. Sekalipun si tokoh ini menyampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana, disertai contoh-contoh tindak keseharian dan dibumbui bahasa serta logat Suroboyo-an. Demikian soal mengisi kemerdekaan dengan bekerja, dia tidak ingin masih ada orang Nginden yang memilih nganggur, apalagi jika itu anak-anak muda. Ia mengajak yang muda-muda untuk mau maju dan bangkit dari rasa gagal atau terpuruk.
Kedua, ajakan untuk rukun tetangga. Salah satu sangu atau bekal yang sangat penting menurutnya. Hidup yang diwariskan seharusnya bukan hidup yang sarat pertengkaran, kebencian atau dendam. Melainkan hidup yang tenang, saling menghargai dan banyak menolong orang lain. Terutama antar tetangga. Sebagai ajang latihan menghidupkan rasa tolong menolong di kehidupan bertetangga RT 01 ini, adalah saling bantu saat ada warga yang meninggal dunia. Keluarga yang berduka dibantu tak hanya urusan teknis persiapan pemakaman, namun juga dibantu mengurus administrasi pemakaman. Harapannya, tumbuh rasa peduli dan kekeluargaan.
Ketiga, ajakan untuk mengiringi kerja dan tindakan dengan doa atau ibadah. “Se-ngoyo ngoyo-nya (sangat bekerja keras) seseorang bekerja mencari rejeki, bila tidak diiringi doa maka rejekinya ibarat cuma mampir.” Doa bukan semata-mata sebagai ruang permintaan akan kelancaran rejeki, melainkan ruang untuk bersyukur. Orang yang hidupnya dipenuhi rasa syukur, maka tak ada yang cukup sulit untuk dicari jalan keluarnya. Orang yang bersyukur, pasti bergembira, dan bisa memompa semangat dirinya kembali.
Penghujung malam renungan HUT RI ke- 67 di Nginden ini,adalahpembacaan laporan keuangan peringatan HUT RI di RT ini dan disusul makan bersama. Seseorang yang lain membacakan, “Dana yang terkumpul dari warga dua juta seratus ribu rupiah, pengeluarannya buat hadiah lomba lima ratus ribu rupiah, tumpeng lima ratus ribu rupiah, air mineral satu dus lima belas rupiah......................total pengeluaran satu juta enam ratus dua puluh ribu rupiah, selisih nya empat ratus delapan puluh ribu rupiah.” Dalam hati aku bangga, ini dia upaya mengisi kemerdekaan yang sejati. Bila para pejabat negara gila-gilaan bermain proyek dan mengeruk uang dengan serakah untuk kemewahan diri dan keluarganya, justru di lingkungan warga yang mayoritas berpenghasilan pas-pas an ini ada upaya menjadi bermartabat. Jujur, bertanggungjawab, dan swadaya. Hai para pejabat yang belum tentu berjiwa pemimpin, berkacalah pada rakyat kecil! *Devi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H