Mohon tunggu...
Catherin YMT
Catherin YMT Mohon Tunggu... Bankir - Female

An INFP Woman*Chocoholic*Pink Lover*Potterhead*Book Worm* Central Banker - Economic Analyst Email: catherinymt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Persoalan Gaji Fresh Graduate dan Sekelumit Pengalaman

26 Juli 2019   12:07 Diperbarui: 26 Juli 2019   12:10 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: unsplash.com

Curhatan seorang fresh graduate yang meolak gaji 8 juta rupiah karena merasa berasal dari universitas negeri ternama menjadi viral dan dibahas dimana-mana. Para baby boomers yang saat ini masih aktif bekerja seolah menemukan pembenaran untuk melekatkan image sombong dan malas bagi para milenial.

"Anak sekarang memang kelakuannya begitu, maunya kerja sedikit, gaji besar. Tidak menghargai loyalitas. Zaman kami dulu, bisa dapat pekerjaan dan digaji saja sudah syukur. Ga akan menuntut macam-macam. Bekerja saja dengan baik". "Lulusan universitas terkenal sih boleh saja, tapi belum tentu kamu bisa kerja", begitu kira-kira beberapa komentar mereka.

Akan tetapi banyak juga baby boomers yang ternyata sering membanggakan universitas anak-anak mereka, yang notabene adalah para milenial. Seperti pengalaman saya beberapa waktu lalu. Seorang ibu yang berusia sepantaran ibu saya (baby boomers pastinya) bertanya, "Mba, kamu lulusan mana dulu S1 nya?" Saya jawab dengan jujur tanpa mikir macam-macam, "Lulusan U** bu". Tidak ada yang salah sebenarnya dengan almamater saya, tapi tanggapannya agak membuat saya kaget. "Haa? Serius kamu? Lulusan U** kok bisa kerja di B*? Anak saya sekarang kuliah di Italy loh.." Saya cuma bisa senyum sambil jawab, "Ya bisa bu, asal lulus tes masuk".

Percakapan itu terjadi sebelum viralnya si anak fresh graduate yang kelewat bangga akan almamaternya sampai menolak gaji 8 juta perak. Dari kedua peristiwa ini saya jadi berpikir. Jangan-jangan para orangtua (generasi baby boomers) yang misuh-misuh dan mencela anak UI tersebut juga punya andil untuk memunculkan orang lain yang berpikiran sama. Orangtua berusaha segala cara agar anaknya diterima di universitas ternama (tidak jarang bahkan sampai harus pakai jalur mandiri yang uang kuliahnya gila-gilaan), atau sekalian ke luar negeri. Padahal kalau kita tanyakan lebih lanjut, mereka belum tentu tau apakah benar universitas tersebut memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan universitas lainnya. Yang penting atas nama gengsi dan kebanggaan (bisa cerita kemana-mana), anaknya harus masuk universitas terkenal.

Kebanggaan berlebihan itu pula yang akan turut membentuk sikap arogan dalam diri anak-anak mereka. Belum lagi bila memikirkan biaya besar yang dikeluarkan karena harus menguliahkan anaknya yang masuk lewat jalur mandiri. Sudah bayar mahal-mahal, masa digaji segitu. Begitu kira-kira yang ada dalam pikiran mereka.

Berbeda sekali dengan saya dulu. Walaupun milenial, saya tidak merasakan kemewahan untuk bisa leluasa memilih universitas. Selain harus lulus SPMB agar bisa dapat uang kuliah murah, saya juga harus memilih universitas yang dekat dengan kota saya. Tidak boleh jauh-jauh di luar pulau, biayanya mahal soalnya. Jadi walaupun ingin sekali bisa masuk universitas ternama, saya terpaksa menahan keinginan ini. Tapi memang ada banyak keuntungan yang saya dapatkan dari segi biaya. Selain uang kuliahnya sangat murah, saya juga terbantu dengan adanya beasiswa. Jadi saya seperti tidak ada "beban" untuk mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan orang tua.

Karena latar belakang seperti itu pulalah, maka saat lulus dan mencari pekerjaan, gaji bukanlah pertimbangan utama saya. Menggali pengalaman sebanyak mungkin adalah fokus saya sebagai seorang fresh graduate. Karena itu di tahun-tahun awal bekerja, saya bahkan digaji setara UMR dan harus super irit agar bisa bertahan hidup di ibukota. Namun itu semua memang hanyalah proses. Setelah memiliki pengalaman yang cukup banyak, barulah saya berani untuk memberi "harga" untuk diri sendiri saat mencari pekerjaan baru. Negoisasi gaji pun berubah dari "sesuai kebijakan perusahaan saja" menjadi "saya rasa nominal segini pantas, dengan pertimbangan a b c d".

Apapun yang menjadi alasan si anak UI yang menolak gaji 8 juta, sebaiknya menjadi bahan perenungan bagi kita. Bagaimana agar pemberi kerja lebih dapat menghargai kualitas individu daripada sekedar ijazah dari universitas ternama. Bagaimana pula untuk "menata" mindset para lulusan universitas agar tidak terlalu bangga atau sebaliknya minder dengan almameternya sendiri. Karena pada dasarnya emas tetaplah emas, walaupun tergeletak di dalam comberan sekalipun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun