Kedua, menemukan sejarah itu dalam peta pergerakan yang ada dan bagaimana masyarakat berinteraksi. "Bagaimana elemen-elemen yang ada disebuah kota ada pemerintahan, kampus, lembaga pendidikan, orang-orang sosial dan individu-individu itu berinteraksi merespon dinamika yang cukup cepat kalau di dalam dikotomi desa dan kota," tuturnya.
Ketiga, apabila peta sudah terbaca, menurut Anna mau tidak mau kita mesti melihat peran masing-masing elemen tersebut. Anna menganggap penting untuk bisa menemukan kristal-kristal yang luar biasa di buku yang dibaca, "sehingga bukan hanya menjadi sebuah bacaan oh ini kan masa lalu."
**
Sedangkan Eko Prasetyo (Social Movement Institute) yang sebelumnya terlambat langsung merespon buku ini dengan lebih spesifik. Menurut Eko pula buku ini menjadi sangat penting karena Yogya itu berada dalam landscape yang sangat vital pada proses kebangsaan. Yogya pernah menjadi Ibukota negara ketika  Soekarno-Hatta pindah ke Yogya dan ketika agresi itu masuk ke Yogya. Menurut Eko hal tersebut membuat ide-ide politik radikal sebenarnya tumbuh di kota Yogya dan membuat kota ini agak menarik seperti digambarkan dalam buku Selo tersebut.
Menurut Eko buku ini juga begitu unik. Salah satunya adalah pembahasan tentang PKI yang dimuat cukup panjang. Artinya Selo sangat antusias menulis tentang keberadaan PKI di Yogya. "Salah satu yang disasar pak Selo adalah kenapa PKI bisa kuat di Yogya? Karena memang ide-ide revolusi sosial itu diminati dan menjadi salah satu landscape ketika kota ini menjadi pusat Ibukota. Bahkan di Yogya dikatakan ada yang namanya lembaga pendidikan Marx," ungkapnya. Bahkan kata Eko di Yogya baik kota maupun provinsi separuh kursi dewan itu dikuasai  PKI.
Hal menarik lainnya yang dikemukakan Eko adalah posisi Sultan saat itu---ketika gagasan radikal begitu subur di kota yang secara subkultur begitu feodal. Sultan HB IX di halaman 157 itu mengatakan bahwa, "kesejahteraan rakyat Yogya adalah urusan pribadiku". Itu artinya kata Eko, kemiskinan itu urusannnya Sultan. Bukan urusan pemerintah daerah ini menjadi urusan yang sangat pribadi.
Untuk menyiasati masalah perekonomian rakyatnya, Sultan HB IX pada masa itu membangun perusahaan tembakau dan  Pabrik Gula Madukismo dengan konsep koperasi. Begitu pun perihal tanah yang selama ini menjadi konflik. "Tanah itu diberikan rakyat kepada sultan bukan sultan mendapatkan tanah dari rakyat. Konsepnya seperti itu," ungkap Eko.
Tanah itu diberikan kepada kerajaan agar menjadi tanggung jawab kerajaan untuk mengolah semuanya. Kata Eko filosofi tersebut artinya raja itu pelayan rakyat, bukan raja pelindung rakyat. Secara tidak langsung relasi antara sultan dan rakyat kala itu sangat harmonis. "Di buku ini sultan (HB IX) digambarakan sebagai seorang pribadi yang hangat, baik dan mudah ditemui," kata Eko.
Saat termin, ada satu pertanyaan menarik yang terlontar dari seorang peserta. Ia mempertanyakan siapa yg memegang kedaulatan atau memegang daya politis  untuk mengubah sosial politik di Yogya itu sendiri, "apakah kita masih punya kedaulatan untuk mengubah secara sosial poitis di Yogya?
**
Namun tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sekitar pukul 9 diskusi harus segera berakhir. Togamas mengode dengan lampu lantai dasar yang satu per satu mulai padam. Apa yang dibicarakan pembicara tadi bahwa ruang-ruang dialektika memang terbukti semakin nyesek bukan hanya karena sering dibubarkan, tetapi juga karena waktu pemakaian tempat yang dibatasi. "nanti kalau ruang dialog itu nggak ada maka kemajemukan itu menjadi terbatas. Rakyat pun hilang," ungkap Eka. Hal terpenting menurut Eko adalah mendengungkan bahwa kita butuh ruang itu!