Disejumlah negara adidaya sepak bola seperti Inggris, Spanyol, Italia, dan Perancis tentu memiliki klub ibu kota dengan nama besar dan prestasi mengkilap. Misal Arsenal, Chelsea, dan Tottenham Hotspur merupakan klub liga Inggris yang bermarkas di ibu kota London. Di liga Spanyol ada Real Madrid dengan segudang pialanya. AS Roma dengan nama besar dan prestasinya juga tim kebanggaan warga ibu kota Roma. Paris Saint Germain, tim yang sedang naik daun seiring dengan nama mereka yang semakin diperhitungkan dipercaturan sepak bola eropa.
Namun, sejatinya tidak semua klub ibu kota memiliki nama besar—juga lumbung piala. Di Jerman nama Herta Berlin justru kalah tenar dengan Bayern Muenchen yang notabene bukan klub ibu kota. Sama halnya dengan Sporting Lisbon di liga Portugal yang namanya tenggelam diantara FC Porto dan Benfica.
Di Indonesia, hal serupa juga terjadi dengan klub ibu kota. Persija Jakarta salah satu klub tertua di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Berdiri semenjak tahun 1928 silam, Persija merupakan langganan juara era perserikatan. Tak ayal Persija menjadi salah satu klub dengan nama besar  dan ditakuti lawan-lawannya. Tercatat Persija 9 kali berhasil merengkuh juara era perserikatan.
Setelah format liga beralih menjadi Liga Indonesia persija seret prestasi. Persija hanya berhasil menjuarai Liga Indonesia sekali, tahun 2001. Dan itu merupakan piala liga terakhir Persija hingga saat ini.
Dukungan Jak mania
Persija dengan nama besarnya berhasil memikat banyak hati pecinta sepak bola nasional. Jak Mania (sebutan pendukung Persija) tersebar diberbagai wilayah, tak terkecuali di luar pulau Jawa. Klub yang bermarkas di Stadion Gelora Bung Karno ini selalu didampingi Jak mania ke manapun Persija berlaga.
Persija bisa dikatakan sebagai klub yang suka hijrah. Walaupun memiliki predikat klub ibu kota, Persija sejatinya memiliki masalah dengan markas untuk bertanding. Di era 2000-an Persija masih memakai Stadion Lebak Bulus sebagai homebase mereka. Namun, ada beberapa faktor yang membuat Stadion Lebak Bulus tidak dipakai Persija. Pertama, Stadion Lebak Bulus tidak memenuhi standar BLI (Badan Liga Indonesia) Persija terpaksa mencari stadion pengganti. Kedua, Stadion Lebak  Bulus tidak mampu menampung banyaknya pendukung Persija yang ingin menyaksikan laga Persija secara langsung. Stadion Lebak Bulus hanya bisa menampung 12.500 penonton saja. Akibatnya banyak dari penonton yang tidak kebagian tempat. Ketiga, sebagai klub yang disegani, Persija rasa-rasanya kurang layak menghuni Stadion Lebak Bulus. Persija yang notabene pujaan masyarakat ibu kota harusnya memiliki stadion sendiri yang lebih menjanjikan. Predikat mereka sebagai klub besar seakan tercoreng dengan minimnya stadion yang layak untuk menjadi laga tandang Persija.
Sejak Stadion Lebak Bulus diruntuhkan untuk dibangun MRT (Mass Rapid Transit), Persija akhirnya memakai Stadion Utama Gelora Bung Karno. Namun, kadang permasalahan kembali mencuat. Persija kembali meradang ketika Stadion SUGBK dipakai untuk event yang lebih penting seperti SEA Games, AFF Suzuki Cup, dan event berkelas internasional lainnya.
Kini Persija harus melewati SUGBK karena masih dalam tahap renovasi. SUGBK direncanakan akan menghelat Asian Para Games Oktober mendatang. Itu artinya Persija tidak akan bisa memakai SUGBK untuk laga kandang Liga Indonesia yang mulai bergulir bulan maret. Kemenpora hanya memperbolehkan pemakian SUGBK setelah event Asian Para Games.
Tidak hanya itu, karena biaya sewa SUGBK sangat mahal membuat Persija harus mencari alternatif stadion lain. Untuk menggelar pertandingan di SUGBK pihak Persija harus merogoh kocek sebesar 180-200 juta. Hal tersebut membuat pihak Persija harus mencari stadion lain—dan rumah kedua mereka ada di Stadion Manahan Solo.
Belakangan kita memang lebih sering melihat Persija melakoni laga kandang di Stadion Manahan Solo. Stadion tersebut sudah seperti rumah kedua bagi Persija dan Jak mania. Sambutan dari masyarakat maupun pendukung PSIS Solo pun adem ayem. Tak ada penolakan.