Menyoal nilai kedalaman trisakti kemerdekaan dalam butirnya yang ketiga "berkepribadian dalam bidang budaya," tentu mengingatkan kita dalam fase dimana karakter luhur nenek moyang bangsa telah berada dalam tahap kegalauan.
Rasanya telah pudar gugusan kebudayaan bangsa yang seharusnya menjadi cikal bakal kepribadian dan karakter masyarakat pribumi demi terwujudnya kesejahteraan melalui persamaan nasib sebangsa dan setanah air. Faktanya, masihkah terdengar lantunan nyanyian keanekaragaman budaya keindonesiaan? atau masihkah kita melihat bocah-bocah menari-nari senang dengan tarian warisan nenek moyang selain acara panggung rakyat 17 agustusan di kampung-kampung? secara objektif tentu jawabanya adalah nihil.
Memang, senin pagi adalah waktu dimana sekolah-sekolah sejagat ibu pertiwi dan kantor-kantor pemerintahan ramai-ramai adakan upacara bendera, bendera dinaikan sebagai wujud bersatunya kesucian dan keberanian para sepuh bangsa dan founding father mendirikan negeri ini, negeri dengan sejuta keindahan, negeri dengan ribuan kecintaan. Namun lantas jika kita lihat wajah-wajah para pendarma upacara, adakah yang menteskan air mata lantaran hatinya tersentuh ketika bendera mulai naik sejengkal-demi sejengkal? Atau adakah wajah yang nampak terharu mengumandangkan indonesia raya?
Anda tahu jawabnya.
Semesra dengan fakta yang menjelma, Tentu kita tahu dan sadar pelestarian budaya hanya tinggal perdebatan, perdebatan antara eksekutif dan legislatif, perdebatan antara elitis partai yang menggunakan gaung empat pilar hanya demi urusan politis pencitraan. Jika berani mari kita lakukan otokritik, media massa baik cetak maupun elektronik juga ramai-ramai mewartakan kehidupan hedonistik barat. Lihat saja acara televisi, kalau dulu ada si doel dan keluarga cemara hiasi siang dan malam acara televisi, apakah ada lagi kuncup-kuncup bunga acara seperti itu? jelas yang ada hanyalah budaya kebarat-baratan hedonistik, yang mencirikan media sebagai kepentingan korporasi kapitalistik, dan ikut serta melanggengkan jembatan antara sikaya dan simiskin, si anak kota dan si anak desa, serta mengubur nilai-nilai budi pekerti baik kepribadian bangsa melalui programnya.
Senyampang dengan itu, untuk menanamkan tanaman kebudayaan tentunya berasal dari ruh semangat kecintaan kepada negara, dan untuk membangun jiwa nasionalistik dalam mempertahankan nilai-nilai keindonesiaan, seharusnya para elitis partai tidak lagi hanya urusi kepentingan partai raih kekuasaan, para pemilik media yang juga tidak hanya mementingkan urusan keuntungan atau pundi-pundi uang, atau aktivis juga jangan hanya sibuk belajar dari senior elitis bagaimana jalan menduduki kekuasaan, ini adalah rangkaian kerjabersama antar kita, serta menyentuh segala sektor derajat kehidupan, dari si miskin hingga si kaya, dari petani hingga bangsawan, dari buruh hingga pengusaha, dan dari siswa hingga mahasiswa.
Kita semua rindu akan indonesia yang dimabuk keramahan, dimana rakyatnya memiliki kepribadian yang indah, penguasanya memiliki pribadi yang mengayomi, mahasiswanya yang tidak lagi sibuk berdandan habiskan waktu tiap malamnya, serta aktivisnya yang memiliki karakter intelektual yang didasari nilai kecintaan dalam kebudayaan. Itu semua akan terwujud dengan harga yang cukup, dimana semua entitas kemasyarakat mampu untuk menahan diri dari syahwat ekonomi dan kekuasaan, sehingga seluruh kaum bersatupadu memasyarakatan kebudayaan nasional kedalam ruang-ruang kehidupan.
Jika semua itu terwujud, bangunan Trisakti kemerdekaan dalam butir kepribadian dalam bidang budaya tidak akan lagi menjadi cita-cita khayalan, pasti akan termaktub dalam ciri khas masyarakat keindonesiaan jika kita sadar dan mau mengubah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H