Mohon tunggu...
Muh. Tahir A
Muh. Tahir A Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pencari Makna Hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Religius

19 Mei 2012   16:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:05 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13374444151906249891

[caption id="attachment_177986" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar:vivanews.com"][/caption] Selama periode awal evolusi spritual umat manusia, khayalan manusia telah menciptakan Tuhan-Tuhan dalam citra manusia sendiri, yang – dengan berlangsungnya kehendak mereka – ingin menentukan, atau paling tidak mempengaruhi sampai tingkat tertentu, dunia fenomenal. Manusia berusaha mengubah ketentuan Tuhan-Tuhan ini untuk kebaikan mereka sendiri dengan cara magis dan penyembahan. Gagasan Tuhan pada saat ini adalah penghalusan dari konsep lama tentang Tuhan-Tuhan. Sifat antropomorfisnya tampak, misalnya, pada kenyataan bahwa manusia memuja Wujud Ilahiah dalam sembahyang-sembahyangnya, dan memohon dipenuhinya keinginan-keinginan mereka. Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah dapat menjadi pelipur lara, pemberi bantuan dan pembimbing manusia; juga, disebabkan sederhananya gagasan itu, ia dapat dipahami oleh orang yang pikirannya paling lemah sekalipun. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang amat penting dalam gagasan antropomorfis ini sendiri, yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap Diri-Nya sendiri. Bagamana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini. Orang yang yakin sepenuhnya pada berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati. Maka, mudah Kita pahami mengapa gereja selalu memerangi ilmu dan mendukung para pendukungnya, di pihak lain perasaan religius kosmik merupakan motif paling kuat dan mulia bagi penelitian keilmuan. Hanya mereka yang mengerti usaha yang luar biasa dan pengabdian yang telah mewujudkan semua karya pionir dalam ilmu teoritis, yang dapat menangkap kekuatan emosi yang karenanya karya-karya tersebut - yang begitu jauh dari kenyataan hidup sehari-hari dapat tercipta. Betapa dalamnya keyakinan tentang rasionalitas alam semesta, dan betapa kuatnya dorongan untuk memahami yang pasti dimiliki Kopler dan Newton sehingga mereka dapat bertahan dalam kerja sunyinya yan bertahun tahun untuk menguraukan prinsip-prinsip mekanik alam semesta. Mereka yang pengalamannya dalam penelitian keilmuan didapat dari terutama hasil-hasil praktisnya dengan mudah mengembangkan gagasan yang sama sekali salah tentang mentalitas manusia yang – dalam lingkungan alam skeptis – telah menunjukkan dalam sesamanya suatu semangat yang terserak keseluruh dunia dan sepanjang masa. Hanya sesoran yang mengabdikan hidupnya yang gamblang dengan apa yang telah mengilhami orang-orang itu dan yang memberi mereka kekuatan untuk tetap setia kepada tujuan-tujuan mereka, meski mengalami kegagalan-kagagalan yang tak terhitung adalah perasaan religius-kosmik yang memberi seseorang kekuatan semacam itu. Seorang dari zaman kita telah mengatakan bahwa yang materialistik ini hanyalah pekerja ilmu yang serius yang benar –benar merupakan orang religius. Catatan Taqiyah@ Kamar Pojok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun