Matahari sudah naik di atas kepala, panasnya dapat membakar kulit, menghitamkan wajah, aku terbangun dari tidur. seharian kemarin aku main game, merokok, dan buka sosial media.
 sudah berbulan-bulan aku melakukan hal yang sama, ibuku sudah bosan mengingatkannya ,aduh ...sudah kesekian kali aku tidak salat subuh.
 betapa ruginya kalau tidak berjamaah. oh Tuhan berikanlah aku hidayah, aku rindu di masa pondok dulu, berjemaah, makan, dan belajar selalu bersama.
 perutku lapar, aku berjalan keluar kamar menuju ruang makan .ah.. aku menguap yang kedua kali, padahal aku sudah tidur lebih dari 8 jam .
tidur di malam hari takkan bisa tergantikan walaupun lama tidur siang. aku membuka tudung saji itu, ternyata ibuku sudah menyediakan sarapan disertai teh dingin di sampingnya. sebenarnya teh itu hangat di pagi hari, tapi aku kesiangan.
 sepertinya ibu sudah berangkat ke sawah menjadi buruh tani. ayahku sudah lama pergi. singkatnya hanya ibu lah yang punya kewajiban mencari sesuap nasi .
aku makan sarapan itu sambil meratapi nasibku yang tak berubah dari waktu ke waktu . tak terasa air mataku mengalir, aku teringat susah payah sang ibu, tangannya kasar, mukanya gosong dipanggang matahari ,kakinya bengkak dan pecah-pecah dimakan air.
aku berkata kepada diriku dalam lamunan,b Apa yang bisa aku lakukan? aku tak bisa apa-apa aku juga malu jadi petani seperti ibu .
pahit rasanya teh manis, sudah banjir di pipiku oleh air mata, sudah hancur hatiku oleh fakta ,aku tak tahu jalan keluarnya. Di tengah lamunanku yang panjang, azan zuhur berkumandang, apakah ini pertanda baik dari Tuhan.
 setelah aku habiskan sarapan dan sekaligus makan siang tadi ,aku cuci piring bekas makananku, setidaknya aku tidak lagi menyusahkan ibu.