Dulu saat masih di pesantren, mana pernah saya berpikir soal tagihan listrik. Padahal dari spp yang dibayar setiap bulan ke bagian keuangan pondok, pasti ada anggaran khusus yang diarahkan kesana.
Menjelang kuliah, pelan-pelan saya paham tentang konsumsi listrik. Bahkan jadi faktor penting untuk memilih kosan. Saat aktif di organisasi, saya makin terseret dalam pusaran ini.
Ketika berniat menuntut transparansi keuangan kampus, pasti tagihan listrik tak luput jadi pusat perhatian. Misal alokasi untuk tagihan listrik masjid kampus. Hem... Nominalnya fantastis cuy!
Begitupun saat tinggal di sekret organisasi. Tagihan listrik semacam setan menakutkan setiap bulannya. Ia datang bagai hantu dengan wajah yang menyeramkan. Apalagi jika sudah dipadatkan jadi tiga bulan. Dunia mendadak Gelap!
Dalam skala yang lebih besar, perkara listrik ini juga sosok menyeramkan bagi pemangku kebijakan. Sebagai konsumen, nominal yang dibayar untuk Konsumsi listrik sebuah Pemkot bisa mencapai milyaran per bulan. Sebaliknya, sebagai pengatur kebijakan, pemerintah juga dipaksa untuk berpikir aktif mencari sumber energi alternatif agar penduduk satu negara tidak kegelapan.
Salah satu opsi energi yang sedang digunakan oleh pemerintah saat ini yaitu pemanfaatan panas bumi. Atau familiar dengan sebutan Geothermal. Walaupun persediaan batubara kita masih banyak, tapi kita tidak boleh leha-leha. Berapapun jumlahnya, jika tidak bisa diperbaharui, pasti suatu saat akan habis. Betul kan?
Energi panas bumi ini bukan hal baru. Italia sudah lebih dari 100 tahun memanfaatkannya. Begitupun Amerika. Sementara Indonesia, sekalipun memiliki potensi terbesar di dunia, sekitar 40 persen dari total potensi global, tapi belum menggarapnya dengan maksimal.
Dulu saat Indonesia belum merdeka, Belanda sudah pernah melakukan eksplorasi panas bumi di tanah air (1918-1926). Entah kerena apa, projek tersebut berhenti di tengah jalan. Mungkin saat itu pemerintahan mereka sedang goncang. Sebab di waktu yang sama, terjadi pemberontakan besar-besaran oleh kaum agamis dan PKI. Mungkiin...
Kembali soal panas bumi, saat ini Indonesia bertengger di posisi kedua setelah Amerika sebagai produsen listrik dari panas bumi. Namun masih belum sebanding dengan potensi yang ada. Baru digarap sekitar 9 persen. Jika Indonesia fokus, angka tersebut bisa melejit hingga 100 persen.
Ditambah melalui Paris Agreement, kita juga sudah bersepakat dengan negara-negara lain untuk mengurangi konsumsi listrik berbasis energi fosil. Panas bumi adalah solusi. Minim emisi karbon. Potensinya melimpah. Tapi belum dijamah seutuhnya.
Tapi entah kenapa, di saat bersamaan, kita juga menggenjot eksploitasi pertambangan batubara besar-besaran. Aktivitas tambang migas juga tak kalah ambisius. Targetnya 1 juta barel per hari. Itu loh, dua komoditas yang diekstrak dari perut bumi. Penyumbang gas ruma kaca paling besar seantero dunia.