[caption id="" align="aligncenter" width="457" caption="Gambar: pontianak.tribunnews.com"][/caption]
Mungkin saya terlambat membahas soal dibubarkannya BP MIGAS ini. Ketika saya mendengar BP MIGAS dibubarkan, alangkah gembiranya saya. Memang sejak lama sudah saya lihat, kalau BP MIGAS itu pro-asing.
Pembubaran itu tepat sekali. BP MIGAS memang melanggar UUD. Saya bukan seorang pakar Hukum, bukan juga pakar ekonomi dan sebangsanya. Jujur, saya tidak mengerti soal ekonomi, hukum dan ini-itu, tapi dari sekilas saja saya sudah tahu, kalau BP MIGAS itu tidak ada gunanya.
Menurut undang-undang sudah jelas, bahwa sumber daya alam, energi, mineral atau semacamnya, yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu harus dan wajib dimiliki serta dikuasai oleh negara. Mau bagaimana pun hal itu mesti dikuasai negara. Seperti listrik, air, gas dan minyak.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, BP MIGAS itu memang pantas dibubarkan karena tidak memihak pada kepentingan rakyat. "Kita sambut baik karena tidak sesuai konstitusi dan selama ini justru kalau kita lihat, mereka itu lebih memihak pada asing," ujarnya. (kompas.com, 13/11/2012)
Apalagi saya juga dengar hal serupa dari pakar MIGAS, Pak Kurtubi, kalau kerja BP MIGAS itu tidak efektif. Makanya, beliau juga ikut mendukung pembubaran BP MIGAS. Dan menurutnya, MK jelas melakukan tindakan yang amat tepat.
Para tokoh penggugat UU MIGAS antara lain adalah Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Komaruddin Hidayat, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Salahuddin Wahid, Laode Ida, Hendri Yosodiningrat, dan AM Fatwa. Mereka menilai BP MIGAS terlalu mementingkan asing.
Saya sangat sependapat. Banyak sumber daya kita yang jadi dikelola asing. Bukannya saya anti-asing, tapi kalau hal-hal yang bersangkutan dengan hajat orang banyak bagaimana pun juga harus dikuasai negara. Makanya, waktu itu Bung Karno tidak memberikan keleluasaan kepada asing untuk mengelola sumber daya kita.
Kita lihat saja, mosok PERTAMINA cuma mengelola 16% dari total sumber daya mineral kita. Dimana logikanya. Kok, yang punya cuma dapat sedikit, sedangkan orang lain dapat banyak. Okelah kalau ada alasan kalau kita itu tidak cukup alat atau apapun itu, tapi seharusnya kembali lagi: kita yang harusnya menguasai. Buat apa kita punya orang-orang pintar kalau tidak bisa mengelola.
Oleh karena itu, kalau bisa Chevron, Exxon, Total, Shell, Petronas itu tidak usah diperpanjang lagi kotraknya. Buat apa, toh, kita pun hanya dapat sedikit dari mereka. Dan kehadiran mereka juga disini nggak ada untungnya. Apalagi Petronas, saya agak alergi dengan perusahaan satu ini.
Apalagi saya paling tidak suka yang namanya Freeport. Pokoknya perusahaan-perusahaan yang mengeruk habis sumber daya kita. Mereka itu licik. Sudahlah, mending segala sesuatunya kita kelola sendiri. Jangan bergantung terus sama asing. Katanya mau jadi bangsa yang mandiri.
Dan sekali lagi, saya menyatakan bersuka cita atas dibubarkannya BP MIGAS. Sebab, lembaga itu sama saja dengan lembaga penyengsara rakyat. Sudah saatnya kita itu mandiri. Dan lagi, jangan mau-maunya dibodohi asing.
M.R.K. – 22/11/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H