Sanah menutup pintu rumah sambil meraih karung bekas di atas dipan. Baju batik yang dikenakannya bukan hanya pudar, malah ada sebuah robek besar di dekat bahu yang tertutupi oleh jilbab kumal yang dipakainya. Sandal jepit usang di kakinya hampir tak berbentuk. Tapi lumayan buat menghindari duri-duri halus di jalan berlumpur di ladang Haji Sanip.
Ke sanalah dia menuju sekarang.
Melewati kios Kak Lipah, Sanah melihat masih banyak sayuran. Dia singgah di situ. Bertanya harga ikan paling murah.
"Gembung ada sikit lagi, Nah. Gak sampe 10 ribu," kata Kak Lipah.
Ikan gembung yang tinggal tujuh ekor itu disisihkan Sanah.
"Nanti kuambil ya, Kak," katanya sambil berlalu.
Sanah masuk ke ladang sawit di belakang kampung. Haji Sanip baru saja memanen kemarin. Masih banyak sisa buah-buah sawit yang tertinggal. Sanah mulai mengutip buah-buah sawit yang gugur dari tandannya itu. Tangannya cekatan memasukkan satu per satu ke dalam karung. Sementara matanya jeli mencari buah-buah sawit itu diantara belukar. Brondolan istilahnya.
Pekerjaan ini rutin dilakukan Sanah. Biasanya dia bersama Wak Timah. Perempuan tua itu, biarpun ringkih tapi kuat memanggul brondolan berpuluh-puluh kilo. Pekerjaan mereka beresiko tuduhan pencurian, namun itu adalah pekerjaan yang paling mungkin dan mudah dilakukan.
Bersama Wak Timah, Sanah bisa pergi ke ladang yang jauh dari kampung. Di sana penjagaan lebih ketat tapi hasil brondolan juga bisa lebih banyak. Tak jarang ketika sudah mengumpulkan banyak brondolan, mereka dikejar-kejar centeng kebun. Jika sudah begitu terpaksa brondolan ditinggalkan. Makanya Sanah dan Wak Timah kucing-kucingan dengan penjaga ladang.
Terkadang ada juga pemilik ladang yang mengijinkan mereka mengambil brondolan asal tidak merusak tanaman. Tapi yang begitu jarang terjadi.
Minggu lalu, Sanah tak enak badan. Waktu Wak Timah datang mengajaknya mencari brondolan, Sanah masih berkerubung kemul dengan tempel koyo di sudut dahi. Sudah sejak tiga hari badannya meriang.
"Berasku sudah tak ada, Sanah," kata Wak Timah kala itu.
"Yang dekat-dekat saja, Wak," ujar Sanah menggigil, "Uwak sendirian. Nanti ada apa-apa," sambung Sanah lagi.
"Ah, kalau dekat-dekat sikit dapatnya. Tak apa-apalah. Aku udah tua. Apa ku takutkan," Wak Timah berkilah.
Sanah ingat saat itulah dia melihat Wak Timah terakhir kali.
Sore itu, seorang pemancing berlari tergopoh-gopoh ke rumah kepala dusun.