"Wak Timah pingsan, Pak Kadus. Di hutan sana," ujarnya dengan napas tersengal.
Beberapa orang bergegas ke ladang sawit di ujung kampung.
Di sana, di bawah pohon sawit, Wak Timah dalam posisi duduk dengan karung berisi brondolan di dekat kakinya.
Wajahnya pucat dan bibirnya memutih. Dia bukan pingsan. Wak Timah sudah berpulang sambil menggenggam sebuah biji sawit.
Seolah menggenggam harapan terakhir kehidupannya, perempuan tua itu melepas ikhtiar terakhirnya dalam kesendirian di hutan sawit.
Sanah masih tergugu mengingat kejadian itu. Pemandangan menggiriskan  hati itu masih membekas di ruang matanya. Entah sampai kapan Sanah akan menggantungkan hidup pada buah-buah sawit, remah-remah rejeki yang tertinggal di hutan ini.
Apakah nasibnya akan seperti Wak Timah?
Entah. Sanah tak mampu menjawab.
Dengan beban puluhan kilo di pundak, Sanah berjalan pulang. Hari ini cukuplah untuk menebus tujuh ekor ikan dan sekilo beras di warung Kak Lipah. Untuk esok, biarlah waktu yang menjawabnya.
(Terinspirasi dari seorang pengutip brondolan yang wafat di hutan sawit dengan karung berisi brondolan di sisinya. Nama-nama hanya rekaan. Jika ada kesamaan bukanlah kesengajaan. Semoga almarhumah husnul khotimah.)
Kotapinang, Â Mei 2021
Brondolan=buah-buah sawit yang terlepas dari tandannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H