Mohon tunggu...
Mustolih Siradj
Mustolih Siradj Mohon Tunggu... profesional -

Advokat, Dosen, Aktivis

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Reduksi Hukum dalam Kasus Pemukulan Pramugari

10 Juni 2013   14:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:15 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus pemukulan pramugari maskapai Sriwijaya Air Nur Febriani oleh Zakaria Umar Hadi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal daerah (BKPMD) Provinsi Bangka Belitung (Babel) terus bergulir. Kasus ini kini diambil oleh Polres Pangkal Pinang setelah sebelumnya ditangani oleh Polsek Pangkalanbaru.

Zakaria dilaporkan ke polisi karena melakukan pemukulan kepada Febriani di pesawat bernomor penerbangan SJ 078 tak lama setelah mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Rabu (5/6/2013). Zakaria langsung ditetapkan sebagai tersangka dan sudah ditahan. Dia dianggap bertanggung jawab karena telah memukulkan gulungan koran ke arah bagian belakang leher Febriani sehingga menimbulkan bekas kemerahan.

Musabab pemukulan tersebut dipicu kekesalan tersangka karena ditegur korban untuk mematikan ponsel saat pesawat akan lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, sekitar satu jam sebelumnya. Upaya damai kedua belah pihak coba ditempuh dengan permohonan maaf dari Zakaria. Namun, Febriani masih tidak terima dengan perlakuan tersebut sehingga kasus ini tetap dibawa ke jalur hukum.

Anti Klimaks

Prospek kasus yang mendapat sorotan luas dari berbagai kalangan. Banyak masyarakat yang ingin supaya Zakaria diberi pelajaran setimpal karena arogansinya sebagai pejabat dan sikapnya yang mengancam keselamatan penerbangan. Tampaknya ekspektasi publik tersebut tak akan bergulir sebagaimana yang diharapkan. Penyebabnya tak lain karena Penyidik di Kepolisian yang memproses kasus ini setengah hati dalam menjerat Zakaria karena hanya berkutat dengan menggunakan jerat tindak pidana umum (Pidum) melalui Pasal 351 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang penganiayaan. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Kapolres Pangkalpinang, AKBP Bariza Sulfi.

Kepolisian sepertinya sungkan dan tidak berani tegas sehingga cenderung membonsai konstruksi realitas peristiwa yang sebenarnya dan konteks dimana serta bagaimana peristiwa tindak pidana yang dilakukan Zakaria tersebut. Melihat locus delicti dan tempus delicti-nya seharusnya perbuatan Zakaria tidak hanya bisa dikenai KUHP karena perbuatannya itu terjadi terkait langsung dengan persoalan delik pidana keselamatan penerbangan. Polisi seperti tutup mata karena tidak coba melapisi delik pidananya dengan memakai jerat pidana khusus (lex spesialis) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan atau yang biasa disebut dengan Undang-Undang Penerbangan (UUP).

Aturan sudah Jelas

Dalam UUP dengan jelas diatur larangan penumpang pesawat melakukan pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan (Pasal 54 f jo Pasal 306). Di dalam pesawat, Kapten penerbang pesawat udara-lah yang ’paling berkuasa’ berwenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan termasuk mematikan ponsel milik penumpang melalui pramugari. Siapapun dan apapun jabatan penumpang yang ikut dalam penerbangan harus patuh dan tunduk kepada aturan penerbangan. Semua itu bertujuan untuk keselamatan mereka sendiri. Bila penumpang tetap bersikukuh memfungsikan alat-alat elektronik seperti hand phone dan sejenisnya maka bisa diancam pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun atau denda Rp. 200 juta (Pasal 412 ayat 1).

Larangan pemakaian hand phone secara spesifik diatur dalam Instruksi Direktur Keselamatan Penerbangan Ditjen Perhubungan Udara melaui suratnya No AU/4357/DKP.0975/2003 tentang Larangan Penggunaan handphone di dalam Pesawat Udara. Dasar pelarangan ini adalah studi yang dilakukan otoritas penerbangan Amerika Serikat (FAA) sejak 1991. Menurut FAA, peralatan elektronik yang portabel seperti telepon genggam, televisi, dan radio berpotensi mengganggu peralatan komunikasi dan navigasi pesawat udara. Semua peralatan tersebut sama-sama dirancang untuk mengirim dan menerima gelombang sinyal. Pada radio FM misalnya, oscilator frekuensi di dalam radio yang mendeteksi gelombang FM mengganggu secara langsung sinyal navigasi gelombang VHF pesawat udara.

Meskipun sejauh ini tidak ada fakta yang dapat membuktikan bahwa pelanggaran interferensi frekuensi radio menyebabkan kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa, pengawasan akan potensi ancaman keselamatn penerbangan memang harus diminimalisir sehingga aturan ini harus selalu ditegakkan.

Kasus kesewenang-wenanagan penumpang yang dilakukan Zakaria terhadap petugas penerbangan harus diusut tuntas agar menjadi pembelajaran bagi pejabat-pejabat lain maupun masyarakat luas supaya tindakan semena-mena tidak terulang. Selain itu tujuan yang lebih besar bukan hanya sekadar untuk menegakkan aturan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bersama akan pentingnya keselamatan dalam transportasi udara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun