Mohon tunggu...
Mustolih Siradj
Mustolih Siradj Mohon Tunggu... profesional -

Advokat, Dosen, Aktivis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menyoal Sumber Dana PKS

31 Mei 2013   14:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:44 2756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369995885983030719

[caption id="attachment_264744" align="aligncenter" width="565" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Pemberitaan terkait dugaan kasus impor daging sapi yang melibatkan Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq (LHI) membuat partai dakwah ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan dan masyarakat luas. Kasus ini menyeret banyak nama. Kini isunya tak hanya sebatas soal suap sapi tetapi menjalar ke berbagai lini yang membuat partai yang saat ini dipimpin Anis Matta ini mendapat kritik tajam dari berbagai penjuru.

Belakangan publik juga mempertanyakan dari mana sumber dana PKS selama ini. Hal ini makin ramai diperbincangkan setelah Yudi Setiawan Direktur PT Inti Cipta Parmindoyang disinyalir memiliki hubungan dekat dengan Luthfi Hasan Ishaq yang kala itu masih menjabat sebagai Presiden PKS membebeberkan kesaksian. Menurut Yudi dalam pemilu 2014 nanti demi target mencapai tiga besar PKS membutuhkan dana kampanye Rp 2 triliun sebagai dana operasional.

Kabar yang dihembuskan Yudi tersebut tentu membuat publik makin terhenyak tak habis pikir. Bagimana cara dan dari mana partai ini dapat memenuhi target memperoleh dana sebesar itu. Apakah akan memanfaatkan kader mereka yang duduk di lembaga eksekutif atau legislatif sebagai mesin uang? atau ada cara lain yang rasional dan halal yang dibenarkan syariat maupun perundang-undangan. Partanyaan-pertanyaan kritis ini wajar dalam alam demokrasi seperti sekarang tanpa bermaksud menyudutkan. Sebab parpol saat ini dituntut transparan kepada publik.

PKS memang berkali-kali harus membantah pengakuan Yudi itu. Beberapa elit PKS karena desakan yang begitu kuat elit kemudian coba menenangkan kegelisahan publik dengan mencoba merasionalkan dari mana dana operasional yang dipakai PKS. Salah satu yang buka kartu terkait hal ini adalah Wakil Sekjen Mahfudz Siddiq sebagaimana yang dilansir media online republika.co.id  pada Senin lalu (20/5) dengan judul artikel ”Mari Cari Tahu dari Mana Sumber Pendanaan PKS”.

Padaparagraf tiga sampai lima berita tersebut Mahfudz Siddiq menjelaskan”......Sumber selanjutnya, PKS menerapkan infak wajib bulanan bagi anggota inti yang berjumlah lebih dari 600 ribu orang. Yang terdiri dari iuran wajib dan zakat penghasilan. Besaran infak wajib bulanan berbeda bagi setiap anggota. Disesuaikan dengan besaran penghasilannya. Kemudian, PKS juga menerapkan zakat tahunan. Berupa zakat maal, zakat fitrah, infak dan shadaqah anggota. Biasanya dihimpun selama ramadhan. Lembaga-lembaga amil zakat yang dikelola kader PKS juga menghimpun zakat, infak, dan shadaqah dari masyarakat. Dari pejabat publik baik di legislatif maupun eksekutif, diwajibkan memberikan infak bulanan. Anggota Fraksi PKS DPR tiap bulan membayar infak senilai Rp 20 juta ke DPP PKS.”

Dari berita di atas dengan jelas Mahfud Siddik menyatakan bahwa dana operasional PKS selama ini disokong dari zakat maal, zakat fitrah, infak dan sedekah (ZIS) dari anggota/kadernya. Sepintas penjelasan tersebut seolah-oleh rasional dan tak bermasalah karena donasi dihimpun dan dipungut dari internal kader partai. Tetapi jika didalami dengan menggunakan kacamata syariat maupun aturan perundang-undangan yang berlaku hal tersebut jelas problematis. Mari kita uji!

Partai Tak Berhak Kelola Dana Zakat

Terkait pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) sudah sejak lama negara ini memiliki aturan main bagaimana mendapatkan, mengelola dan mendistribusikan dana-dana filantropi islam itu sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ). Beleid tersebut merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. PKS bahkan dikenal sebagai parpol yang getol menggolkan undang-undang ini di DPR.

Dalam UUPZ dinyatakan tujuan dari pengelolaan zakat adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan. Oleh karena itu zakat yang merupakan kewajiban bagi seorang muslim yang secara ekonomi mampu harus diberikan kepada golongan masyarakat yang tidak berdaya (mustadhafiin) yang menurut syariat islam ada 8 (delapan) golongan yaitu fakir, miskin, pengurus zakat (amil), mualaf, budak, orang-orang yang terlilit hutang (gharim), dan fi sabilillah, musafir sebagaimana merujuk pada surat At-Taubah ayat 60. Jumlah penerima zakat (ashnaf zakat) hingga hari ini belum ada satu ulama pun di muka bumi ini yang berani (ijtihad) menambah apalagi mengurangi. Karena bunyi dan struktur ayatnya sangat jelas (qoth’i) sehingga tak ada perbedaan pandangan (ikhtilaf).

Selain itu dalam UUPZ secara tegas juga diatur terkait syarat-syarat sebuah lembaga dapat menghimpun, mengelola dan mendistribusikan donasi zakat. Tidak sembarang lembaga dapat melakukan hal itu. Beberapa syaratnya antara lain lembaga tersebut harus berbentuk ormas, mendapat izin dari Menteri Agama, mendapat rekomendasi dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), bersifat nirlaba, dan memiliki program untuk mensejahterakan ummat. Bagi orang yang melakukan pengumpulan dana zakat tanpa memenuhi syarat-syarat di atas diancam dengan pidana 5 (lima) tahun penjara. Terkait penghimpunan donasi lembaga zakat juga berkewajiban memberikan pelaporan kepada BAZNAS dan pemerintah.

Berdasarkan UUPZ diatas lalu dimana letak relevansi dan landasan yuridis sebuah parpol dapat menggunakan dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) untuk kepentingan operasional politiknya. Dana zakat seharusnya tidak boleh dimanfaatkan secara partisan karena tujuannya adalah untuk mensejahterakan ummat secara umum. Bukan untuk ummat partai biru, ummat partai putih, ummat partai merah, atau ummat partai hijau dan seterusnya. Jangan sampai terjadi manipulasi syariat zakat atas nama partai tertentu. Bahaya jika donasi zakat dikelola partai tertentu karena yang akan disasar bukan rakyat miskin yang membutuhkan tetapi pertimbangan utamanya tentu saja sejauh mana keuntungan dan kalkulasi politik yang akan diperoleh parpol tersebut manakala dana zakat itu diberikan.

Secara administratif masyarakat juga berhak mengkritisi apakah yang dimaksud Mahfudz Siddiq dana zakat, infak, sedekah (ZIS) yang merupakan operasional PKS dikumpulkan melalui lembaga tersendiri di bawah partai atau dengan cara mendirikan badan otonom, selain itu penting diketahui apa nama lembaganya. Karena selama ini mencuat dugaan ada sebuah lembaga zakat nasional (LAZNAS) yang memiliki afiliasi dengan PKS. Tapi apapun modelnya seharusnya pengelolaan donasi zakat dilaporkan kepada BAZNAS dan pemerintah sebagaimana umumnya lembaga zakat yang kredibel sehingga diketahui pula oleh masyarakat luas.

Atas penjelasan Mahfud Siddiq itu seharusnya lembaga terkait seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) selaku leading sector yang membidangi pengelolaan donasi ZIS mengambil langkah melaklukan cek and ricek tentang kebenaran pengakuan tersebut. Karena bentuk donasi semacam itu tetap harus dimintai pertanggungjawaban sebagai mana telah diatur perundang-undangan. Hukum harus tegak di atas segala-galanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun