Saksi kisah antara mengingat luka dan mengikat bahagia.
Hawa sejuk membalut tubuhku, Bali sedang dengan mendungnya namun aku tetap berjalan gontai menapaki tanah lot yang indah nan menawan. Aku Lyreana, panggil saja Lyra Ini liburanku yang kesekian kalinya ke pulau dewata, dan kesekian kalinya pula aku melepas penat ini seorang diri, serasa memiliki me time yang sempurna untuk menghindari stress yang akan mengganggu kesehatanku.
Seketika aku merasa hujan akan segera bertandang, bergegas aku meninggalkan deburan ombak di hadapanku, langkahku terus melangkah mendekati motorku. belum sempat aku menghidupkan mesin motor yang aku sewa dari penginapan, hujan seketika turun dengan derasnya, terpaksa aku berteduh dulu di dekat parkiran, nampaknya aku tidak sendiri berdiri menikmati derasnya air langit yang bergemuruh saking derasnya.
Aku memang tidak sendiri, lelaki tinggi berkulit sawo matang menoleh manis padaku, seketika aku tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat sapaan padanya, setelah itu kami saling diam membisu. Semakin dingin udara Bali sore itu, aku yang hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans selutut mulai menggigil dibuat keadaan. Kedua tangan ini spontan mendekap tubuh yang dingin, sungguh keadaan yang menyiksa. "Ini pakai jaket ini, biar kamu nggak kedinginan", tiba-tiba lelaki itu melontarkan tawaran dengan sopan. "Terimakasih niat baiknya, aku menggigil banget dan aku nggak bisa menolak niat baikmu", ujarku menimpali lelaki itu sambil menyodorkan tangan untuk mengambil jaket yang ia lepaskan dari tubuh kekarnya.
"Hallo, aku Lyra disini aku liburan satu minggu, aku liburan sendirian", aku kemudian memperkenalkan diriku padanya. Seketika ia juga membalas perkenalanku Gagah Yudhana namanya, seorang wartawan yang saat ini ditugaskan untuk meliput berita-berita di Bali, namun masa kerjanya di Bali hanya tinggal satu minggu karena ia akan di mutasi ke Bandung, ternyata umurnya tidak jauh denganku, aku lebih muda dua tahun darinya. Selain berkenalan kami juga bertukar nomer handphone karena aku merasa aku masih harus bertemu ia untuk mengembalikan jaketnya.
Sejak saat itu komunikasi kami menjadi sering bahkan setelah jaket itu kembali padanya. Aku merasa ada hal berbeda ketika menatap matanya yang dalam dan bening, seolah ada sebuah harapan baru menyapaku dan membuatku mencoba larut dalam alurnya. Meski hati ini mengatakan ingin lebih mengenalnya, aku tetap menahan diri, bagamanapun dia orang asing yang mungkin saja melukaiku sewaku-waktu.
Dalam kurun waktu satu minggu yang kita punya di Bali, kita habiskan dengan jalan dan kuliner, bahkan beberapa kali aku ikut liputan berita event Bali. Mengenalnya nyatanya istimewa bahkan rasa ini mengalir secepat kilat tak tahu malu, aku melihat sebuah harapan jika sedang bersamanya, begitupun sebaliknya kurasa. Hingga di ujung hari kita akan berpisah, ia memberikan kotak padaku yang hanya boleh aku buka ketika aku sudah sampai rumah, hal itu kusepakati dan saat kubuka itu di Surabaya kotaku tinggal, semuanya seakan mimpi yang menyesakkan dadaku, gerimis semakin mendukungku untuk memeluk bayangnya yang sesaat.
*****
"Hai Bali aku kembali datang menagih janji satu tahun lalu yang menyayat hati, biar sesak ini hilang berganti, biar duka ini akan terobati dan biar desember ini memberi arti" ucapku lantang di pantai sanur. Aku terpaku melihat indahnya ombak, kubuka kotak pemberian Gagah yang aku bawa, seketika angin membawa pergi sebagian isi kotak yang mulai mengering dimakan waktu, aku kelabakan dan kemudian terjatuh. Nampak terasa seseorang berdiri di belakangku. "Aku pernah bilang mungkin ini mustahil, namun karena kamu takdirku kita kembali bertemu, aku tidak pernah tau kamu akan berdiri disini hari ini, pertemuan ini takdir", aku terperanjat, itu Gagah, laki-laki yang sempat aku sesalkan hadir dalam hidupku. Satu tahun dia menghilang, tanpa kabar, hanya dengan janji kembali entah kapan, bahkan ternyata namanya Galih Pratama Yudhana yang sengaja dia samarkan untuk mencoba mencari sesuatu yang akan dimiliki selamanya dan itu aku. Hujan kembali turun seakan mengingatkanku pada awal kali kita bertemu. "Bunga Desember ini pertanda, bahwa kita memang akan dipersatukan dengan cara yang sama, di musim penghujan dan musim merekah bunga wangi ini" ujar gagah yang kini mendekapku hangat. Bali dan bunga desember darimu, bunga yang wangi tercium dan bunga yang kini merekah di hatiku di penghujan akhir bulan, terimakasih Semesta. -Catatannisa-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H