Cancel culture menjadi ancaman terbesar bagi pegiat dunia hiburan. Efek yang didapat tidak main-main. Mulai dari pemutusan kontrak kerja, denda, hingga karier terancam kandas. Hal tersebut membuat public figure lebih berhati-hati dalam menjaga sikap. Namun, cancel culture dapat menghancurkan mental seseorang akibat intimidasi dari berbagai pihak.
Mengenal Sejarah Cancel Culture
Lisa Nakamura, professor University of Michigan mengatakan bahwa cancel culture adalah "budaya boikot" terhadap selebriti, merek, perusahaan, atau konsep tertentu. Awal mula terbentuk cancel culture ditandai dengan istilah "renrou sousuo" pada tahun 1991. Dikutip dari The New York Times, Istilah tersebut mengacu pada upaya netizen China untuk menjawab pertanyaan atau mencari informasi tentang orang-orang tertentu. Mereka menggabungkan informasi dari pencarian online dan offline lalu memposting hasilnya secara publik sehingga orang tersebut mendapat kecaman verbal serta dikeluarkan dari komunitas.
Budaya Cancel Culture di Beberapa Negara
Jika menyebut cancel culture, orang awam berpikir budaya tersebut hanya terjadi di Korea Selatan. Nyatanya, negara lain juga melakukan hal serupa. Bahkan Indonesia mulai menerapkan cancel culture meskipun terdapat pro dan kontra. Berikut merupakan perbandingan kasus cancel culture di beberapa negara.
Amerika
Cancel culture di Amerika diterapkan kepada public figure dengan kasus yang sangat berat. Jika di negara lain seorang artis dapat diboikot karena narkoba, di negara Amerika belum tentu. Pertimbangannya tentu dari gaya hidup barat yang berbeda dengan budaya timur.
Namun, beberapa tahun ke belakang, istilah cancel culture sering menguar ditandai dengan kasus produser Hollywood Harvey Weinstein. Kasus tersebut berakhir dengan putusan 23 tahun penjara di tahun 2020 akibat memerkosa lebih dari 50 wanita. Kasus ini yang mempelopori gerakan #MeToo di media sosial berbagai negara
China
Di negara China, cancel culture diberlakukan terhadap public figure yang melanggar norma dan ideologi pemerintahan. Penampilan public figure di semua media bahkan profilnya dihapus tanpa jejak. Berkaca pada kasus Zhang Zhehan, pemerintah langsung memasukkannya ke dalam daftar hitam.
Zhang Zhehan dianggap tidak nasionalis akibat berfoto di depan Kuil Yasukuni, bangunan dengan arti simbol penghormatan terhadap tentara Jepang yang gugur pada perang dunia ke-II. Padahal China mempunyai kenangan pahit terhadap invasi Jepang tahun 1931-1945.
Indonesia
Fenomena cancel culture tergolong baru di Indonesia. Efek yang ditimbulkan belum sampai ke pemboikotan media massa. Sebatas pemutusan kontrak kerja atau non aktif dari media sosial untuk sementara waktu.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu netizen semakin ganas dalam upaya penerapan cancel culture. Kasus Saipul Jamil menjadi bukti bahwa netizen Indonesia mampu menghentikan kemunculan Saipul Jamil di televisi setelah keluar dari penjara akibat kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur.