Andai perasaan mudah untuk dikalimatkan, tentu kau takkan ragu menyatakan. Namun, semua yang tersirat terlalu sulit untuk di surat. Kau takut rasamu justru membuat dia semakin jauh. Sehingga, kau memilih mengubur semuanya dalam senyap tanpa ingin lenyap.
Sampai suatu saat kau mendengar kabar yang mematahkan seluruh harapanmu, kau melihat kenyataan yang menyesakkan dadamu; Dia yang kau kagumi, mengagumi orang lain, dia yang ingin kau genggam, menggenggam tangan orang lain.
Kau kecewa, benar-benar kecewa, namun kau tak bisa melakukan apa-apa. Hanya terdiam di belakang seseorang yang tak pernah menyadari keberadaanmu. Hanya menangis di belakang seseorang yang tak pernah menyadari ada yang terluka. Hanya terkapar di belakang seseorang yang tak pernah menyadari ada yang berjuang.
Kau kehilangan sebelum sempat memiliki, kau melepaskan sebelum sempat memeluk, kau selesai sebelum sempat memulai.
Kini, selayaknya seseorang yang tersesat, yang tak tahu lagi kemana arah melangkah, Hidupmu terhenti di satu titik yang membuatmu resah, gelisah.
Kau masih menulis puisi, namun hanya puisi tentang kepergian.
Kau masih menatap senja, namun dengan tatapan kekosongan.
Kau masih menanti hujan, namun hanya untuk berlari di tengahnya menyembunyikan tangisan.
Betapa satu nama di dalam hatimu mengubah seluruhmu, satu nama yang kau aminkan dalam sujud terakhirmu mengubah doamu.
Kemarin, doamu agar bisa dibersamakan, hari ini agar bisa mengikhlaskan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H