Hal yang paling membuat gue sedih dan prihatin sekarang-sekarang ini adalah kondisi kehidupan agama di Negara yang gue cintai ini. Agama gue Islam, sejak kecil, saat ini dan hingga akhir nanti agama gue tetap islam!. Sedih, karna rasa-rasanya di Negara gue ini hanya ada 2 pilihan untuk menjadi Islam, Fundamental atau Liberal.
Sepertinya gue ngga perlu membahas liberal, karna sudah jelas itu tidak pernah nyampe dan masuk ke dalam pola pikir gue. Terlalu naïf dan siapa gue, kalo harus menjudge mereka yang digaris liberal adalah salah dan tidak akan menyentuh surga. Ngga, gue ngga berpendapat seperti itu, hanya saja menjadi liberal tidak akan pernah ada dalam pilihan hidup beragama gue. Isi kepala (dan hati) gue selamanya ngga pernah akan menerima pemahaman yang dibawa oleh Islam Liberal berikut ajarannya yang memperbolehkan apa-apa yang selama ini gue yakini ngga boleh. Meskipun secara ke-tokoh-an banyak yang gue kagumi dari pendiri Islam Liberal di Indonesia, Nurcholis Madjid salah satunya. Ntah karna penafsiran Tafsir dan akidah yang berbeda, yang jelas terlalu dangkal ilmu agama gue untuk menganalisisnya.
Pilihan pertama tadi adalah Fundamental. Sebetulnya sejak menjadi mahasiswa, ah bukan lebih tepatnya sejak pemikiran gue lebih terbuka dan melihat banyak hal gue mengenal kedua jenis islam itu. Sejak kecil, sejak gue diajarkan agama oleh alm. Papa dan Mama, sejak gue dimasukkan ke TPA, sejak gue gede di Lingkungan masjid, sejak di darunnajah, yang gue tau hanya islam. Kalo pun ada istilah lain, hanya Muhammadiyah dan NU yang gue tau. Yang gue tau, islam itu seperti apa yang dijalankan alm. Papa sama Mama, seperti yang sering diceramahkan ayah Rusli di Masjid Raya, juga seperti nilai-nilai yang diajarkan Usth. Mahruz kepada santri dan satriwatinya. Betul jika ada batasan halal dan haram dalam islam, betul juga jika islam aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Islam memang bukan sekedar agama, tapi juga panduan dalam berkehidupan. Gue ngga pernah merasa asing tuh melihat orang-orang dengan kerudung lebar dan berjenggotan. Gue juga ngga asing bergaul dan melihat mereka yang sering menyebut istilah islam. Tapi gue baru tau, melihat dan belum mengerti pada islam yang segitu frontal, keras hingga banyak hal-hal simple dalam kehidupan yang ditolak dan tidak diperbolehkan, bahkan terkesan “lah lebai amat deh”. Ngga tau ya, tapi dengan semakin gue melihat dan tau mengenai mereka yang gue sebut kaum fundamental itu, gue semakin antipasti, tidak respect bahkan terkesan membenci mereka. Mungkin benar kalo mereka hanya berusaha menerapkan ajaran islam seutuhnya, sesuai yang diajarkan oleh Rasullullah SAW juga. Tapi ya seolah-olah (apa perasaan gue aja) melenceng dari nilai islam itu sendiri. Contoh kecil (masih banyak contoh lain) logisnya kan itu ajaran dalam jaman berbeda, dalam beberapa hal agak memaksakan sekali kalo harus diaplikasikan pada masa sekarang. Sejauh gue belajar ushul fiqh, boleh deh memodifikasi. Contoh kecil, rasulullah tidurnya ngga pake bantal, tapi menopang dengan tangannya. Mungkin karna emang pada masa itu bantal belom ada, hehe. Kan ngga harus diaplikasikan saat ini juga, dan beberapa hal lainnya. Sejauh tidak bertentangan dan mensekutukan tuhan, kenapa tidak. Contoh lain, tahllilan dan bedoa bagi orang yang sudah meninggal. Ada sejumlah kelompok yang mengatakan bahwa itu bid’ah, tidak pernah diajarkan pada zaman nabi dan tidak ada dalilnya. Tahlilan, 3 hari, 7 hari, 40 hari itu sejauh yang gue tau memang tradisi Indonesia banget, ngga ada tuh di budaya Negara islam bagian lain. Tapi simple nya gue mikir gini, tahlilan itu ya sebagai bentuk ‘peringatan’ atau mengingat orang yang sudah meninggal. Untuk menghibur keluarga yang terkena musibah. Itulah yang gue rasakan ketika meninggalnya papa 2009 lalu. Sejak malam papa meninggal, rumah sudah barang tentu menjadi rame. Silih berganti orang melayat menyampaikan duka cita, tahlilan diselenggarakan 3, 7 dan 40 hari. Itu tidak lain untuk menghibur keluarga gue, dengan suasana rumah yang ramai serta doa-doa yang terus didengungkan, kesedihan itu memang sedikit berkurang. Bisa dibayangkan kalo abis kena musibah, tidak ada tahlilan 3 hari, rumah terasa sepi dan semakin sedih juga lah. Dalam peringatan tahlilan itu pula, biasanya ada ustad yang mengisi ceramah, tujuannya ya itu tadi, untuk menghibur keluarga. Bagi orang yang menghadiri tahlilan itu sendiri, bisa menjadi alarm bahwa setiap waktu kita bisa aja loh dipanggil. Jadi, kenapa proses tahlilan ini harus diperdebatkan panjang jika memang memberikan banyak faidah dan tidak merepotkan ahli musibah.
Balik lagi ke masalah fundamental, dengan adanya perasaan antipasti itu, gue bukannya ngga mau masuk surga, bukan juga membenci ajarannya, karna toh gue dari Tuhan yang sama, kitab suci dan Rasul yang sama, yang gue benci perilaku ke-lebai-annya aja, berikut cara-cara mereka mengekspresikan ke sok – takwa-annya. Sepertinya cukup Tuhan aja yang tau seberapa dalam iman seseorang, ngga perlu pamer simbol ketakwaan itu apalagi sok menghakimi orang lain. Yakin situ masuk surga? yang ada malah jadi Riya!. Menjadi beriman itu mengagumkan, tapi rasanya ngga perlu dipertontonkan, menganggap dirinya paling benar dan golongan lain salah. Toh dalam al-qur’an udah jelas, agama ku agama ku, agama mu agama mu. Maksud gue gini, Agama itu sendiri kan kepercayaan, Ibadah juga adalah bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya. Negara ini pun bukan Negara islam, dengan demikian mengapa harus repot-repot mengurusi kehidupan beragama orang lain. Gue ngga mau menyalahkan wilayah fundamental juga atas beberapa kejadian bom dan terorisme yang mengatasnamakan islam, atau kerusuhan-kerusuhan agama lainnya. Tapi setidaknya fundamental ini berperan, menggiring pemikiran kesana, dengan mudah dan seenaknya mengatakan sesat, memprovokasi, menyebut takbir saat melakukan kekerasa, dan bahkan lebih lanjut gue bilang mereka (fundamental) harus bertanggung jawab. Dimata gue, mereka terlalu banyak mengurusi kehidupan beragama orang lain, ataupun masalah sosial yang (maksa banget) dikait-kaitkan dengan ajaran agama dan moral. Mengatasnamakan akidah dan moral mereka melakukan kekerasan dan berusaha membuat Negara ini menjadi seperti Negara yang mereka inginkan. Belum lagi, mereka yang sok suci dengan berbagai atribut dan aksen islam yang memuakkan, justru berprilaku melebihi mereka yang berada di garis leberal. Berdakwah namun dirinya sendiri patut untuk didakwahi, sedihkan Negara gue.
Yang bikin gue tambah sedihnya, pemahaman fundamental itu semakin meluas pesat, di sisi lain untuk islam yang terlanjur men cintai duniawi, yang banyak terpengaruh budaya bukan ala Indonesia, lebih memilih untuk berada di garis liberal. Bak dua kutub yang saling tarik-menarik, Mayoritas penganut agama islam di Indonesia itu berada ditengah-tengahnya. Kemudian, fundamental dan liberal itu ada di kedua kutub yang saling tarik menarik. Kedua nya saling mempengaruhi, dengan doktrin juga dengan gaya hidup liberal yang serba boleh dan halal. Sehingga, lama kelamaan yang ditengah itu akan ditarik ke salah satu kutubnya, menjadi Islam pun hanya ada 2 pilihan, Fundamental dan Liberal.
Bagaimana dengan gue? Gue terlalu takut untuk menjadi liberal, karna sungguh otak gue tidak sanggup memahami Islam dari Liberal itu sendiri. Menjadi Fundamental? Gue pun merasa belum sanggup dan mungkin tidak akan pernah sanggup untuk menjalani nilai-nilah fundamental itu. Gue hanya akan menjalani islam dengan nilai-nilai seperti apa yang dijalani oleh Alm. Papa dan Mama hingga detik ini, juga seperti islam yang dijalankan oleh orang-orang disekitar gue, islam seperti keluarga besar Masjid Raya Baitul Izaah, where was made myself till today :D *anak masjid gue gini-gini, hehhe*.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H