Mohon tunggu...
rachmad pua geno
rachmad pua geno Mohon Tunggu... -

.......ingin seperti catatan kaki, cukup berada di pojok bawah, namun memberi makna terhadap pemaknaan yang lebih terang dan jelas......

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mendiskusikan Model Badan Pertimbangan Kesehatan

22 Oktober 2009   02:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sesuai dengan UU Kesehatan yang baru disahkan, terdapat kebijakan tentang pembentukan Dewan Pertimbangan Kesehatan, berikut tulisan lama yang sempat mendiskusikan hal tersebut. ________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________ Mendesak, Pembentukan Dewan Kesehatan Kota Oleh : Rachmad Puageno Merebaknya berbagai kasus yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, mulai penyakit malaria, demam berdarah, polio, busung lapar, hingga flu burung di berbagai daerah, termasuk Surabaya, menyisakan keprihatinan yang sangat mendalam. Tidak hanya banyak korban yang berjatuhan hingga nyawa menghilang, tapi juga berbagai kejadian yang beruntun itu terjadi di tengah penerapan kebijakan otonomi daerah (otoda). Paket UU Otoda, yang sudah berlaku sejak 1999, mengatur bahwa kewenangan bidang kesehatan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot). Pendeknya, sehat tidaknya penduduk di sebuah daerah adalah tanggung jawab pemkab/pemkot. Pemkab/pemkot berkewajiban mengatur dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di daerahnya. Namun yang terjadi, alih-alih memperhatikan nasib warganya, para elite pemerintah dan legislatif sibuk mengurusi peningkatan kesejahteraan sendiri dengan berbagai cara. Tidak salah bila beberapa pihak, termasuk pemerintah pusat (Depkes RI), kembali menggugat kewenangan pemkab/pemkot dalam mengatur masalah kesehatan. Selama ini, kritik ditujukan terhadap implementasi otoda yang dianggap hanya memindahkan pola sentralisasi di pusat pada daerah. Padahal, hakikat otoda adalah diberikannya kedaulatan kepada rakyat dengan memberikan kesempatan dan peran yang besar untuk menentukan arah pembangunan dan sekaligus mengawasinya. Pendeknya, otoda adalah kebijakan untuk mendemokrasikan pembangunan, bukan memindahkan pola sentralisasi masa lalu pada daerah. Bila kita tinjau lebih dalam, "kegagalan" otoda, termasuk di bidang kesehatan, disebabkan tidak berjalannya sistem pendukung yang ada. Pelaksanaan otoda setidaknya mensyaratkan dua aspek penting. Yaitu, aspek capacity building aparat pemerintah dan legislatif serta institutional building atau penguatan struktur pemerintahan dan civil society. Kedua aspek tersebut belum optimal sehingga pelaksanaan otoda menjadi tersendat, bahkan terkesan gagal. Belajar dari merebaknya berbagai penyakit saat ini, tulisan ini membatasi pada aspek institutional building. Salah satu aspek penting agar otoda berjalan efektif adalah pengawasan dan partisipasi aktif masyarakat sebagai kekuatan civil society. Meski yang memilih anggota DPRD dan kepala daerah adalah rakyat, masyarakat harus terus mengawasi dan menilai kinerja mereka. Karena itu, masyarakat harus lebih disadarkan bahwa apa pun janji muluk para wakil rakyat untuk terus memperjuangkan serta mendahulukan kepentingan rakyat yang "dinyanyikan" saat pemilu lalu tetap harus diawasi dan diingatkan. Sikap kritis tersebut akan menjadi warning bagi setiap anggota legislatif dan elite pemerintah. Salah satu wadah yang dianggap mampu menyikapi hal itu adalah dibentuknya dewan/forum kota yang beranggotakan wakil masyarakat. Dewasa ini, pembentukan dewan kota sudah semakin menjamur di berbagai kota/kabupaten. Persoalannya, ruang lingkup dewan kota yang ada saat ini terlalu luas sehingga kurang fokus. Tanpa mengurangi arti keberadaan dewan kota secara umum, ide membentuk dewan kota yang lebih spesifik agaknya perlu. Ada banyak bidang yang mesti dikritisi secara khusus. Dan, salah satu yang urgen adalah bidang kesehatan. Ada beberapa alasan perlunya pembentukan Dewan Kesehatan Kota, selain alasan global yang disampaikan di awal tulisan ini. Di antaranya, pertama, pemahaman visi kesehatan dari DPRD masih "terbelakang". Selama ini dirasakan bahwa sektor kesehatan masih dipandang dari sisi pelayanan kuratif saja. Anggaran sektor kesehatan belum mendapat proporsi yang memadai. DPRD tampak belum siap mengakomodasi kepentingan sektor kesehatan dalam kebijakan partai/fraksinya. Tergambar dari hasil penelitian Fajar Ariyanti (1999) tentang Gambaran Konsep Parpol di Bidang Kesehatan dalam Mewujudkan Indonesia Sehat, diketahui bahwa gambaran parpol di bidang kesehatan masih "primitif". Isu politik kekuasaan lebih menarik untuk dibicarakan. Terbentuknya dewan kesehatan diharapkan mendorong legislatif untuk lebih memperhatikan sektor ini. Kedua, selama ini pemahaman sebagian besar masyarakat terhadap kesehatan masih terbatas pada curative oriented. Kesehatan masih dipandang sebagai suatu yang privilege. Mereka menganggap kesehatan adalah HAM, sebatas pada hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan kuratif. Padahal, hak untuk menikmati hidup sehat jauh lebih luas. Menurut data Susenas 1998, pengeluaran rumah tangga untuk sektor kesehatan kurang dari 3 persen dari total belanja rumah tangga. Ironisnya, pengeluaran untuk rokok dan alkohol sampai 4-7 persen. Hal itu membuktikan, masyarakat kurang sadar pentingnya kesehatan. Menyadarkan pentingnya kesehatan menjadi salah satu peran penting Forum Kesehatan Kota. Ketiga, bukan rahasia lagi banyak pemkot/pemkab belum memprioritaskan sektor kesehatan dalam pembangunan daerahnya. Kedudukan bidang kesehatan dalam pembangunan daerah masih berada dalam arus pinggir (side stream) pembangunan. Terbukti, alokasi anggaran APBD untuk sektor tersebut sangat rendah. Sektor kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) dijadikan "sapi perahan" untuk menggenjot PAD. Kesehatan masih dianggap sebagai sektor tidak produktif (cost centered) sehingga cukup diberi anggaran kecil. Munculnya Dewan Kesehatan Kota akan membantu advokasi pihak terkait bahwa kesehatan sebagai salah satu unsur utama SDM dan modal tahan lama (durable capital) yang mestinya ditempatkan sebagai pilar utama pembangunan daerah. Keempat, hal yang tak kalah pentingnya adalah upaya mewujudkan kota/Kabupaten sehat. Seperti yang sudah diketahui bahwa pemerintah sejak 1 Maret 1999 telah mencanangkan visi Indonesia Sehat 2010. Visi tersebut menjadi pendorong untuk mengembangkan kota/kabupaten sehat. Gerakan kota/kabupaten sehat adalah gerakan masyarakat yang berupaya secara terus-menerus dan sistematis untuk meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan sosialnya melalui pemberdayaan potensi masyarakat (HAKLI, 1999). Salah satu strategi yang ditempuh dengan mengembangkan kemitraan pemerintah daerah, legislatif, serta elemen masyarakat adalah melalui Dewan Kesehatan. Keanggotaannya bisa diambilkan dari beberapa stake holder di masyarakat. Merujuk definisi masyarakat sebagaimana tercantum dalam Sistem Kesehatan Nasional yang dikeluarkan Departemen Kesehatan RI bahwa pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah masyarakat yang meliputi tokoh masyarakat, masyarakat madani, LSM, media massa, organisasi profesi, akademisi, para pakar, serta masyarakat luas, termasuk swasta. Dengan kata lain, anggotanya tidak harus orang yang berlatar belakang kesehatan, namun semua elemen yang punya concern terhadap upaya peningkatan kesehatan masyarakat dan mempunyai visi pembangunan berwawasan kesehatan. Tugas dan fungsi Dewan Kesehatan dikhususkan ke hal-hal yang bersifat policy, bukan yang berkaitan dengan teknis operasional lapangan. Hal itu perlu dilakukan untuk mencegah tumpang tindih dengan berbagai dinas yang ada. Secara garis besar, tugas dan fungsi yang bersifat policy tersebut adalah pertama, sebagai mitra (sparring partner) pemerintah kota/kabupaten, khususnya dalam proses pembangunan kesehatan. Kedua, merumuskan visi dan misi pembangunan kesehatan kota/kabupaten. Ketiga, turut terlibat dalam menyusun rencana strategis dan rencana kerja tahunan kesehatan daerah bersama pihak terkait. Keempat, memantau akuntabilitas pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah. Kelima, mengkritisi berbagai kebijakan pemkot/kabupaten yang mempunyai dampak terhadap persoalan kesehatan masyarakat. Akhirnya, harus disadari bahwa ide pembentukan Dewan Kesehatan Kota hanyalah salah satu ikhtiar dalam mewujudkan proses pendemokrasian pembangunan di daerah agar lebih egaliter, partisipatif, dan berwawasan kesehatan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun