Mohon tunggu...
Pak Guru
Pak Guru Mohon Tunggu... Guru, Pengembang Kurikulum, Pelatih Guru -

always improving...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Sebenarnya

4 Mei 2017   11:53 Diperbarui: 4 Mei 2017   12:19 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi politik dan keamanan bangsa ini belakangan terusik dengan munculnya ancaman pihak-pihak yang menginginkan kepentingannya politiknya terwujud. Hal ini menjadi masalah karena keinginan tersebut cenderung dipaksakan dengan cara-cara yang mengganggu kenyamanan dan akal sehat. Mengganggu kenyamanan karena waktu tercuri dalam menjalani aktifitas sehari-hari demi memperhatikan kepentingan mereka. Mengganggu akal sehat karena apa yang mereka tuntut sudah dapat dikatakan sebuah pemaksaan kehendak atas nama agama: agama yang seharusnya menjadi pemandu kehidupan, kini menjadi alat kepentingan kelompok.

Hadirnya situasi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan mereka yang terlibat. Tidak heran mayoritas kelompok ini didukung oleh mereka yang memiliki latar belakang pendidikan yang belum mengembangkan cara berpikir kritis. Namun, tentunya lebih mengherankan lagi ada sebagian kecil dari kelompok ini yang justru baik latar belakang pendidikannya dan jabatan pekerjaannya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya bukanlah orang yang tidak punya akal sehat.

Seorang teman saya bercerita, ia sangat kesal dengan teman SMA-nya. Dalam sebuah posting di grup media sosial, teman dari teman saya ini dengan bangga menunjukkan keikutsertaannya dalam demo besar-besaran di Jakarta tahun yang lalu. Ia turut mendukung agar pemerintah segera dapat diganti dan salah satu calon gubernur saat itu dapat dipenjara. Teman saya kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya temannya itu adalah seorang pegawai BUMN dan kehidupannya, sekalipun sudah berkeluarga tidak jauh dari dunia 'pijat' yang menjadi kegemarannya. Kesimpulan sementara dari kejadian ini adalah, orang ini seharusnya memiliki latar belakang pendidikan yang baik, karena seleksi untuk bekerja di BUMN tentunya cukup baik. Namun berikutnya, orang ini sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya. Mengapa? Ia adalah seseorang yang hidup dan makannya dari pemerintah, tapi ia mendemo pemerintah. Ia menyerukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh salah seorang calon gubernur, tetapi ia sendiri 'pijat' sembunyi-sembunyi...

Pendidikan seharusnya tidak hanya sampai di tataran formalitas, telah memiliki ijasah, sudah sarjana atau sejenisnya. Pendidikan seharusnya juga merestruktur otak atau cara berpikir seseorang. Dan lebih jauh lagi, pendidikan haruslah membentuk hati, hati yang bersih, besar dan benar. Setelah lebih dari tujuh dasawarsa Indonesia merdeka, kita telah memiliki orang-orang yang memiliki akal sehat dan hati yang bersih, besar dan benar ini. Anda tentu dapat menyebutkan nama-nama mereka, setidaknya satu, dua atau bahkan sepuluh, dua puluh. Tetapi, dibandingkan dengan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia, angka itu seolah-olah tenggelam. Oleh karenanya kita bertanya, setelah kita memiliki banyak doktor dan profesor di bidang pendidikan, pejabat kementerian pendidikan, dan pemerhati pendidikan kelas nasional dan internasional: Mengapa kita menyaksikan tontonan sekelompok orang yang akal sehat dan hatinya telah rusak oleh kepentingan golongan.

Sejarah pernah mencatat, di Eropa pada abad ke-15, pernah juga terjadi demo terhadap pimpinan politik dan agama saat itu. Stabilitas para korup yang bertahan selama berabad-abad tiba-tiba terguncang dan muncullah gerakan-gerakan yang berkontribusi besar kepada kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Sejak masa pencerahan itu, 'kasta' di dalam kehidupan bermasyarakt dan bernegara perlahan-lahan dikikis dan ilmu pengetahuan berkembang dengan subur. Salah satu roda penggerak para pemberi pengaruh dan masyarakat saat itu adalah lahirnya akal sehat.

Kontras dengan apa yang terjadi hari-hari ini, pergerakan kelompok tertentu yang berusaha mengguncang pemerintahan justru lebih mengarah kepada bagaimana caranya menghilangkan akal sehat dari para pengikutnya dan mendesain suatu kebohongan besar demi kepentingan mereka yang ada di lingkaran dalam. Mungkin... mungkin mereka juga telah dan akan memakai berbagai cara, walaupun menyalahi hati nurani demi kepentingan tersebut tercapai. (Ingat: ikut demo pemerintah walau pegawai BUMN dan suka 'pijat'...)

Pemerintah dan masyarakat yang berakal sehat perlu bahu membahu untuk mengatasi hal ini agar perbedaan ini dapat diselesaikan dengan cinta kasih. Mantan Presiden Habibie berkata, cinta tidak berupa tatapan satu sama lain, tetapi memandang keluar bersama ke arah yang sama. Secara jangka pendek memang diperlukan suatu langkah konkrit dan terstruktur agar keluarga sebangsa ini dapat bersama-sama menatap ke arah tujuan mulia kita bersama sesuai Pancasila dan UUD 1945.

Namun secara jangka panjang, kita juga perlu berstrategi dan bekerja keras melalui jalur pendidikan, baik formal maupun informal. Secara formal, pendidikan harus lebih berinvestasi pada membangun manusia yang cerdas, sesuai cita-cita pada pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, kita membangun manusia yang dapat berpikir secara akal sehat. 

Secara informal, pendidikan juga harus lebih banyak berinvestasi di lembaga keluarga, karena merekalah yang akan mendidik hati anak-anak bangsa. Sekolah adalah lembaga formal, ia tidak seefektif keluarga dalam mendidik hati. Pendidikan anak dalam konteks keluarga tidak boleh menjadi bagian yang terpisah dari perhatian kementerian pendidikan nasional, demikian juga fokus pemerintah secara lebih luas. Inilah pendidikan sebenarnya.

Saya akan melanjutkan pendidikan akal sehat dan pendidikan hati ini pada tulisan saya selanjutnya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun