Sambil meneguk air kopi yang tersisa, saya menawari mereka berdua (abang B dan C) rokok.
"Rokok mas!!?", tawarku sambil menyulut satu rokok.
"Oh iya mas", kata abang B sambil mengambil satu rokok kemudian menyulutnya.
"Masnya musafir ya??!!", tanyanya.
"Hehh...", kataku gak ngeh.
"Musafir", katanya lagi.
"Owh..iya..orang yang pergi-pergi ya ?!!", jawabku.
"Iya.", katanya lagi.
Kemudian kita ngobrol, sambil sesekali si abang B dan C menawarkan barang dagangannya yang berupa bunga-bunga plastik yang potnya diberi cahaya lampu yang banyak dijual di pasar-pasar malam. Ada beberapa Ibu-ibu yang tertarik dan membeli. Sementara itu, si abang A terlihat mau merapikan dagangannya.
"Masnya tidur dimana ?", tanya si abang B.
"Ni rencana sich mau tidur di warnet mas", jawabku.
"Owh...tidur di mushalla terminal aja mas", katanya.
"Terminal ?!! Emang disini ada terminal ya ?", balasku.
"Ada. Terminal yang buat bis-bis wisata", jawabnya.
"Owh...yang disitu ya. Saya liat tadi", kataku sambil menunjuk arah terminal.
"Iya bener", katanya lagi.
"Ikut kita aja mas. Saya juga tidur disitu kok", sambung si abang C.
"Wah...boleh juga tuh. Tapi gak papa kan ya ?!", tanyaku lagi.
"Ya gak papa mas. Disitu emang tempatnya musafir-musafir. Banyak kok yang tidur disitu", kata si abang B.
"Iya mas. Ikut temen saya aja. Dia orang situ kok", kata si abang A.
"Iya dech. Daripada tidur di warnet.", kataku sambil tersenyum.
"Ya udah, ni kita mau kesitu mas. Ayo, sekarang aja", kata si abang B sambil membereskan dagangannya.
"Ya", kataku sambil menggendong tas ransel saya.
Selesai beres-beres, saya pamitan sama abang A.
"Mas, saya pergi dulu. Makasih banget ya mas.", kataku sambil menjabat tangannya erat.
"Iya mas. Sama-sama", katanya sambil menerima jabatan tangan saya erat dan tersenyum.
Saya pun pergi mengikuti si abang B dan C yang berasal dari Madura juga. Tapi sebelumnya, mengembalikan gelas kopi di warung seberang jalan.
Sambil berjalan menuju terminal, kita mengobrol.
"Mas dari mana ??", tanya si abang C.
"Ni dari Semarang mas. Kuliah disana, tapi aslinya Tegal", jawabku panjang.
"Owh...baru kali ini ke Surabaya mas ?", tanya si abang B.
"Iya...baru kali ini nich", jawabku sambil tersenyum.
"Kalo musafir-musafir emang banyak yang tidurnya disitu mas", ulangnya.
"Iya ya mas ?!! Gak tau saya", balasku.
"Tapi bukannya musafir itu biasanya makannya dari ngambil sisa-sisa makanan orang ya mas ?? Ngorek-ngorek sampah gitu !?", tanya si abang C.
"Hah...masa sich mas ?!! Saya malah gak tahu tuh", kataku kaget.
"Iya mas, banyak kok yang nyari sisa-sisa makanan di situ", kata si abang B.
"Owh...", gumamku pelan sambil termenung.
Satu lagi kenyataan hidup yang saya ketahui.
Kita mengobrol terus sambil jalan. Sampai di terminal.
"Nanti masnya tidur disana aja mas, di mushalla terminal", kata abang B sambil menunjuk mushalla.
"Iya mas...", kataku.
Kemudian kita ke mushalla, dan benar saja. Ternyata ada dua orang yang sedang mengais-ngais sampah, berusaha mencari sisa-sisa makanan.
Deggg... Saya benar-benar terkejut. Ternyata benar apa kata si abang B. Tapi si abang B dan C terlihat biasa-biasa saja, sepertinya hal-hal seperti itu sering sekali mereka lihat.
"Ehh... Ternyata pintu mushallanya dibuka mas !!?. Padahal biasanya ditutup lho", kata si abang B.
Kemudian saya masuk mushala, sambil mencari stopkontak tempat mencharge hp saya. Karena stop kontak di dalam mushala mati, saya kemudian meminta tolong abang B dan C.
“Mas, bisa ikut nge-ces gak ?! disini colokannya gak bisa”, tanyaku ke mereka.
“Owh, bisa mas. Tapi di tempat saya jualan mas”, kata si abang B.
“Ya gak papa mas. Dimana ?!”, balasku
“Ayo mas”, kata si abang B
Saya pun mengikuti mereka berdua ke tempat mereka berjualan .
“Ces di sini mas”, kata si abang B sambil meminta hp ku.
Kita lanjutkan obrolan kita disini. Sementara itu abang C pergi ke mushalla untuk shalat.
Setelah ngobrol saya pun berpamitan untuk tidur.
“Mas… saya tidur dulu yah.. Udah capek..”, kataku.
“Owh…iya mas..lha ini, hp-nya ??”, balas si abang B.
“Mmmmm..tinggal dulu aja mas. Besok aja saya ambil”, kataku.
Saking percaya kalau mereka adalah orang baik, saya sama sekali tidak menaruh curiga sekalipun kepada mereka.
“Ya udah,,saya tidur dulu mas..mariii”, kataku lagi.
“Iya mas…silakan”, balasnya
Sayapun menuju mushalla tempat saya akan terlelap nanti. Berpapasan dengan abang C, saya tersenyum sambil bilang “Tidur dulu mas….ngantuk nich…”
“Owh iya…silakan mas”, katanya.
Di dalam mushala, sebelum tidur, saya sempatkan menulis kisah perjalanan saya ini di buku catatan saya.
Lagi asik menulis, tiba-tiba datang pria tua berpakaian lusuh di depan mushala.
“Pak…”, sapa saya sambil tersenyum
“Di dalam aja pak tidurnya.. Diluar dingin”, kataku lagi.
“Gak papa. Saya cuma pengen istirahat. Capek bapak.”, balasnya.
“Owh… emang dari mana pak”, tanya saya basa-basi.
“Saya ini dari Cirebon nak. Jalan kaki 7 bulanan ngunjungin masjid-masjid sunan”, balasnya.
“Hahh… jalan kaki pak ?!”, tanya saya sambil menegakkan badan.
“Iya”, katanya lagi.
“Wah….gimana ceritanya tuh pak ?!”, tanyaku tertarik sambil meletakan buku catatan dan bolpoint ke dalam tas.
Sayapun keluar dan berjabat tangan dengan bapak itu.
“Saya Dika, pak”, kata saya.
Saya baru sadar sekarang, kalau saya belum tahu namanya. Karena dia gak bilang apa-apa sewaktu saya jabat dan sebutkan nama saya.
“Ceritain dong pak, perjalanan-perjalanan bapak !?”, pintaku.
“Ya saya jalan kaki aja dek, dari Cirebon”, jawabnya singkat.
“Masjid-masjid yang udah dikunjungin mana aja pak ?!”, tanyaku lagi.
“Banyak dah… Masjid Kubah Emas di Depok sudah pernah. Masjid Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, semua masjid Sunan sudah semua. Terakhir masjid di bangkalan madura.”, jawabnya.
“Itu semua jalan kaki pak ?”, tanya saya masih tak percaya.
“Iya… Lihat kaki saya.”, katanya sambil menunjukan kakinya.
Saya lihat kakinya hitam legam, tapi sepertinya keras. Otot-otonya terlihat menonjol keluar. Banyak “kapal” di telapaknya.
“Wah… masjid yang bagus menurut bapak dimana ?”, tanya saya lagi.
“Di Bangkalan Madura. Itu yang paling bagus”, katanya.
“Wah… saya lapar nich.. belum makan dari kemarin”, lanjut si bapak lagi.
“Mmmm…mau saya beliin pak ?!”, tanya saya hati-hati, takut menyinggung perasaannya.
“Alhamdulillah. Kalo gak ngerepotin dek”, kata si bapak.
“Gak papa pak. Sebentar ya pak”, kata saya sambil berlari menuju warung terdekat.
Saya bungkuskan nasi rames dengan telor dan sebungkus teh manis hangat.
“Ini pak. Maaf, seadanya.”, kata saya.
“Gak papa dek. Ni juga alhamdulillah banget. Makasih ya dek”, kata si bapak lagi.
“Iya pak.. silakan makan pak”, kataku.
“Saya makan ya dek..”, katanya.
Sambil makan bapak itu bercerita,
“Saya itu udah capek. Pengen banget pulang. Tapi belum ada duitnya. Kangen saya sama anak saya.”, kata si bapak.
“Owh…. Cirebon ya pak ?! Emang berapa pak, biaya ke sana ?!, tanyaku.
“Iya… Biayanya sich 45 rebu. Saya baru punya 25 rebu”, kata si bapak lagi.
“Owh… anak bapak sekarang dimana ?”, tanyaku lagi.
“Ada yang masih kecil, ada yang udah nikah.. Kangen saya sama mereka. Soalnya kemarin-kemarin itu saya mimpi yang gak enak tentang mereka. Jadi takut mereka kenapa-kenapa”, lanjut si bapak bercerita.
“Mmmm… emangnya bapak ngelakuin perjalanan kayak gini itu tujuannya apa pak awalnya ?!”, tanyaku penasaran.
“Ya buat anak-anak saya. Saya kepengen anak-anak saya sukses, gak ada yang hidup susah kayak saya. Jadi saya pergi ke makam-makam sunan buat ngedoaian mereka juga.”, jawab si bapak.
Mendengar jawaban si bapak, saya terharu. Ternyata kasih sayang orang tua itu benar-benar luar biasa. Demi kesuksesan anak-anaknya (yang gak tau, apakah anak-anaknya bakalan tetep inget orang tua mereka atau tidak), bapak ini rela berjalan kaki selama 7 bulanan mengunjungi masjid-masjid dan makam-makam sunan untuk berdoa.