'Ms. Tenny kenapa?' tanya teman kerja seruanganku. Mungkin raut mukaku saat itu begitu berbeda dari biasanya. Mungkin kerutan-kerutan muncul dari akar leher, menjalar kencang ke atas ke arah mata, sekaligus mengubah serentak warna mata menjadi merah kehitaman, dan helaian tiap rambut menumbuhkan pancing tajam dan kencang mengarah ke mereka, siap menerkam. Ihhh, tatutttt.
Aku dan Anak Remajaku (1)
'oh, nothing', itu jawaban pertamaku, tapi beberapa menit kemudian, diri ini seakan ga bisa menahan cuatan kekuatiran yang meledakk! kalimat demi kalimatku pun mengalir deras, menjebol bendungan yang kubangun sendiri sebelumnya. Aku mah apahhh... hanya seorang ibu yang sok kuat, sok cool, padahal dong.. menangis sesak sekujur tubuh. Aku perlu muncratkan semua kekuatiran ini, kekuatiran yang memboroskan usia mudaku dengan kecepatan tragis. Sungguh na-as.
Liburan: IBu Shock Melepas Anak Remajanya
Hari itu adalah hari ulangtahun anakku. Langkah awal sebagai seorang Ibu yang ideal, sudah kulakukan mulai dari tadi pagi buta. Aku ke kamarnya, mencium, memeluk, ngajak doa bareng, tanya plannya hari itu ma temen-temennya, dan tawarin dia apa yang dia pengen. Semuanya soooooo smooth.... Sempurna. Perfecto! Ia pun bereaksi positif saat itu. Berikan pipi dan dahinya untuk kucium, berikan ikhlas rambutnya untuk kubelai, berikan badannya untuk kupeluk lama, ia pun memelukku, dan duduk doa bersamaku. It's kind of a miracle. Karena biasanya, no no no, ga boleh touch screen sama sekali. Ya... sebagai Ibu, hari spesial anak benar-benar sangat membantu untuk bonding.Â
Pagi oke, beranjak siang pun oke. Anakku text dan kirimi foto hadiah-hadiah yang ia dapat dari temannya. Ia juga cerita mau beli kue, mau jalan-jalan juga sepulang sekolah. Semuanya oke dan baik.. terlalu baik. Hmm, jika semua terlalu baik, it seems ga wajar, right?! Aku to the point, kutanya, 'lalu, rencana pergi sama W***?' W*** adalah pacar terkininya.Â
[5/10, 12:52] : gatau
[5/10, 12:52] : tak ajak nonton film blm jwb dia
[5/10, 12:52] : tau gk
[5/10, 12:52] : wifi nya udah bisa
[5/10, 12:52] :
?? kenapa seneng banget WiFi idup? Tapi sebagai Ibu yang ideal, kudu selalu ngomong positif kan? ' wow, that's a good idea'. Ya sekali lagi, karena Ibu ideal, jadi masih mikirnya mereka bakal nonton di bioskop. '(nonton) dimanah Dik?'
[5/10, 12:53] : rumah lah
[5/10, 12:53] : wifi nya dirumah
Pendakian Gn. Agung, Bali
Jegleek! Modyar wes! Ya bagus sih dia jujur... tapi kok nyesek ya? Tu rumah kan sepi sunyi tak ada kehidupan, hanya insect, lele, dan burung-burung yang entah sengaja atau ga, ga mau tau apa yang dilakukan penghuni manusianya. Insect, lele, burung yang tak berperasaan. Ohhh tidakkkkk! Anakku ngundang cowok ke rumah sepinyaaaa. Recheck! Mungkin hanya asumsi yang menggunung, asumsi seorang Ibu ideal yang berlebihan.
[5/10, 12:56] : wait, Adik ajak W*** nonton di rumah?
[5/10, 12:56] : iya
[5/10, 12:56] : jangan, Dik
[5/10, 12:57] : diluar kok
[5/10, 12:57] : nonton pake apa?
[5/10, 12:57] : laptop ny dia, tak suru dia bawa laptop
Tubuhku melemas. Tak ada daya. Rasa letih mencakar tiap jengkal pundak dan daging sekitar tulang belakang. Pikiranku kalut. Bayangan-bayangan penyiksa terus hilir mudik, tak mau diam. Kepalaku terasa penih dan berat. Denyutku pun tak teratur. Di saat itulah teman kerja seruanganku bertanya, 'Ms Tenny kenapa?'Â
Pendakian Gn. Adeng, Bali
Aku ceritakan apa yang terjadi, kegundahanku, kekuatiranku. Dan mereka bergilir mengucapkan hal yang serupa: 'Ms Tenny, you're so lucky, dia jujur dan terbuka. Klo saya jadi dia, saya mungkin akan diam-diam saja. Ga semua anak mau jujur ke orangtuanya, Ms'. 'Tapi saya kuatir'. 'Kuatir wajar, Ms. Tapi Ms Tenny sudah bilang percaya sama dia kan?'Â
Aku tertunduk. Aku tau, aku bilang sama anakku, aku percaya sama dia. Aku juga sudah sampaikan hati-hati dan jaga diri. Saat-saat seperti inilah, aku harus buktikan ucapan 'kepercayaan' itu. But gosh..., kenapa membuktikan kepercayaan itu begitu susah? Rasa kuatirku terlalu dominan menguasai otak dan nalarku. Aku tutup mataku, menarik nafas, lalu menahannya sekuat aku bisa, dan menghembuskannya perlahan. Aku putuskan memenangkan 'rasa percaya' dalam pikiranku dan meruntuhkan 'rasa kuatir' yang mengerang sempurna.Â
Ide Liburan Keluarga Akhir TahunÂ
Jadilah sore itu, aku jalani schedule kerja tambahanku seperti biasa, aku batalkan pulang awal karena kawatir. Rasa tenang memang tak sekonyong-konyong datang, namun pilihan sikap percaya membuatku merasa lebih enak, dan menumbuhkan energiku yang sempat tercerai berai. Aku percaya anakku bisa jaga diri.
Kami bertemu pk 18.30, W*** masih di rumah, kami ngobrol bertiga dan itu melegakanku. Selebihnya untuk Ibu yang ga ideal ini, aku berucap: praktekkan lebih sering 'rasa percaya'mu ya Bu. Dan Ibu yang ga ideal ini pun tersenyum menikmati sisa hari Rabu itu.Â