Kasus pemerkosaan dan pelecehan yang menimpa kaum perempuan di Indonesia kian meningkat dan mencuat ke publik. Hal ini membuat masyarakat geram dan mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sampai sekarang masih tertahan.
Dalam beberapa waktu terakhir, mengalami sejumlah kasus kekerasan mulai dari kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi di beberapa perguruan tinggi, pencabulan anak oleh orang tua hingga pelecehan terhadap santriwati di sejumlah pondok pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual. Dikutip dari mediaindonesia.com, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengatakan bahwa dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia naik hingga 800% kasus. Data Sistem Informasi (Simfoni) Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak menyebut, terjadi 6.209 kasus kekerasan seksual pada perempuan dan untuk tahun ini, telah terjadi 426 kasus.
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi sinyal ada yang salah dari sistem hukum di Indonesia. Darurat penanganan kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal semakin ekstrimnya kasus. Tetapi justru karena kapasitas penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah. Â Indonesia membutuhkan instrument hukum yang melindungi perempuan dari kekerasan. Namun, pada praktiknya justru banyak kebijakan daerah yang diskriminatif dan berlawanan dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, literasi hukum masyarakat Indonesia pun masih sangat kurang sehingga terdapat banyak permasalahan dalam proses pembentukan produk hukum.
Indonesia membutuhkan instrument hukum yang mampu mengisi kekosongan hukum sekaligus berpihak pada hak korban, bukan semat-mata menghukum berat pelaku. Perlindungan perempuan menjadi bagian penting saat ini karena tantangan bagi kaum perempuan semakin pelik, seperti kesenjangan ekonomi hingga minimnya rasa aman bagi kaum perempuan. Kebijakan diskriminatif di daerah juga berdampak pada perempuan. Sebagian masyarakat masih menganggap perempuan lemah dan tidak setara dengan laki-laki, oleh sebab itu boleh diperlakukan tidak baik.
Perempuan dan anak perempuan menanggung beban yang sangat berat akibat ketidaksetaraan gender yang terjadi. Sosok perempuan seringkali dianggap lemah dan hanya menjadi sosok pelengkap. Terlebih lagi dengan pola pikir bahwa perempuan hanya sebatas bekerja di dapur dan mengurus keluarga dan anak sehingga seebihnya dianggap tidak penting. perempuan seringkali takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga.
Untuk mengatasi permasalahan terkait kasus kekerasan seksual, masyarakat harus diberi edukasi tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi diskrimanasi. Selain itu semua elemen masyarakat harus bekerjasama dengan pemerintah dalam mengatasi kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H