Postur tubuhnya kecil dan warna kulitnya kecoklatan. Rambut panjang diikat dan dibiarkan tergerai di atas salah satu pundaknya. Senyumnya manis saat saya menyapanya.Â
Kenalkan. namanya Reta, mahasiswa asli Medan yang sedang menimba ilmu Matematika di Universitas Udayana (Unud) Bali. Ia Mahasiswa Baru alias baru menginjak semester satu.
Setiap pagi, sebelum pukul 07.00 WITA, Reta harus sudah standby di halte depan SMA 7 Denpasar jalan Kamboja. Bertarung dengan debu yang berterbangan saat mobil pribadi lewat di depannya. Ia harus sabar menunggu agar tidak telat merasakan asiknya transportasi publik idaman di Trans Sarbagita koridor satu.Â
Saya terkesima dengan Reta. Percayalah, ia begitu rajin menggunakan transportasi publi. Di mana, masyarakat lokal kian menjauhi dengan berbagai alasan.Â
Ia harus berjuang menimba ilmu meski jauh dari kampung halamannya. Saya sempat menanyakan, "kenapa nggak kos saja dekat kampus bukit, dek?" Jawabnya sungguh singkat, ia ingin menghemat ongkos.
Lagian, kalau kos tanpa makan di sekitar kawasan Kampus Unud bukit, pertahun harus mengeluarkan biaya  kurang lebih 3,8 juta. Belum termasuk biaya makan. Ia tidak mau memberatkan beban orang tuanya. Kebetulan,  ia tinggal bersama orang tuanya yang kerja serabutan.
Yang menarik, dengan memanfaatkan bus Trans Sarbagita maka ia tak mengeluarkan uang sepeserpun. Karena, kebijakan pemerintah Bali  "menggratiskan" biaya naik Sarbagita untuk pelajar dan mahasiswa. Mantap, bukan?  Â
Trans Sarbagita bergerak dari halaman parkir GOR Ngurah Rai jalan Melati "kosong melompong". Â Ketika singgah di halte depan SMA 7 Denpasar tepat pukul 07.10 WITA, sesuai jadwal yang sering dialami Reta selama ini.Â
Hanya saya, istri dan Reta yang naik dari halte tersebut. Â Trans Sarbagita masih menggunakan bus kecil yang memuat penumpang kurang lebih 19 tempat duduk.
Ongkos untuk umum dikenakan Rp. 3.500,- Murah sekali bukan? Ongkos tersebut untuk koridor satu (Kota Denpasar/GOR Ngurah Rai-Garuda Wisnu Kencana atau GWK) sepanjang 23 km. Â