Kini, media sosial telah menjadi kebutuhan primer. Ketika bangun tidur, banyak orang mencari smartphone-nya. Untuk mengetahui, apa yang terjadi di media sosial. Media sosial telah menjadi barang kasat mata yang sangat penting.
Media sosial penting bagi setiap orang. Kapan pun dan di manapun, smartphone tidak pernah lepas dari genggaman. Apa yang diincar, selain berita terhangat, media sosial menjadi buruan utama. Membuat status pribadi atau membuka status orang lain dan memberikan komentar adalah kebiasaan yang tidak pernah lepas di era media sosial.
Batasan Kabur
Media sosial telah membentuk perubahan karakter manusia. Sebelum datangnya era digital, orang rajin bersilaturahmi dan bertemu langsung untuk saling komunikasi. Sekarang eranya berubah.
Banyak kalangan beranggapan bahwa era digital, setiap orang begitu mudah untuk saling menyapa dalam dunia maya. Lebih mudah dan lebih cepat. Tidak perlu bertemu langsung, buang waktu dan energi.
Menarik, media sosial menjadi ajang menciptakan akun asli dengan nama "palsu", akun abal-abal alias hantu dan akun robot. Juga, memasang visual pemilik akun yang membuat orang lain tidak paham. Kondisi inilah yang menyebabkan tidak ada batasan etika "sopan santun".
Ketika akun media sosial seseorang dengan berpendidikan tinggai membuat postingan negative. Maka, postingan tersebut merangsang orang lain dari berbagai kalangan usia, pendidikan dan gender.
Celakanya, saat akun abal-abal atau anak di bawah umur berkomentar "nyinyir" tentang postingan tertentu. Kondisi ini mengundang rasa prihatin. Karena, anak kecil "menceramahi" orang dewasa dan berpendidikan tinggi.
Inilah salah satu dari sisi kelam media sosial. Setiap orang "dengan mudah" berkomentar negatif "tanpa memandang" atau "memang tidak paham" jati diri akun media sosial orang lain.
Media Sosial juga membuat batasan antara masalah pribadi dan publik menjadi abu-abu alias kabur. Banyak orang yang mencurahkan masalah "sangat" pribadi di media sosial. Semestinya masalah tersebut menjadi konsumsi sendiri.
Banyak orang juga mulai mudah nyinyir, berkomentar negatif baik di akun sendiri maupun akun media sosial orang lain. Tanpa memperhatikan rambu-rambu etika. Mereka tidak berpikir bahwa komentar atau postingan negative sangat rentan "menyinggung" pribadi atau sekelompok orang.
Media sosial telah membentuk pribadi-pribadi yang belum memahami batasan antara konsumsi sendiri dan konsumsi publik. Memahami batasan tentang hujatan, nyinyiran atau motivasi positif bagi orang lain.
Banyak di antara mereka yang "belum" memahami bahwa setiap postingan yang telah terpasang di media sosial adalah milik publik. Setiap orang bisa mengaksesnya.
Bijak Media Sosial
Bagaimana dengan bulan Ramadan? Sepertinya, media sosial dan bulan Ramadan sangat berhubungan erat. Bagai pinang dibelah dua. Perlunya menggunakan media sosial sebaik mungkin. Dalam bahasa  digital, perlunya pemahaman tentang Literasi Digital. Memahami dan menganalisa ranah digital dengan baik, khususnya media sosial.