Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pelangi dalam Kerukunan Umat Beragama

14 September 2016   09:16 Diperbarui: 14 September 2016   09:37 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sholat Idul Fitri tahun 2016 dengan damai di Denpasar Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu (Sumber: dokumen pribadi)

Hidup dalam suasana yang berbeda keyakinan (agama) bagai langit yang berhiaskan pelangi. Benar-benar indah dan hiasan pelangi tersebut tidak merusak warna langit yang sesungguhnya, biru. Pelangi tersebut muncul ketika cahaya matahari menembus titik air hujan yang selanjutnya bayangan sinar matahari tersebut membentuk sebuah spektrum cahaya seperti yang berwarna warni.

Kehidupan umat beragama bagaikan sebuah sinar matahari yang mampu menyatu dengan kuat, tetapi sebenarnya terdiri dari berbagai macam warna yang selalu mengikat. Berbagai macam agama yang ada di Indonesia bagai warna pelangi yang menghiasi kehidupan umat beragama dan seharusnya indah dipandang mata. Namun, kadangkala pelangi tersebut susah untuk kita nikmati ketika petir menyambar menghiasi langit. Ya, petir tersebut bagai pertikaian yang muncul dalam kehidupan umat beragama.

Keluarga saya hidup dalam 2 agama yang berbeda, Islam dan Katolik. Masalah keyakinan, saya mempunyai prinsip “lakum dinukum waliyadin”, bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kami hidup bagai tanpa sekat dan saling berkomunikasi dengan intens. Kadang, keluarga saya yang berbeda agama juga ikut merayakan dan bergembira ketika saya merayakan Hari Raya agama Islam, Idul Fitri dan Idul Adha.

Selanjutnya, ketika hidup di Bali justru saya hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda agama, Hindu. Di depan tempat tinggal saya terdapat sebuah pura yang menjadi tempat persembahyangan tetangga saya yang beragama Hindu. Saya sangat menikmati dan tidak pernah menyinggung masalah agama yang dianutnya.

media-sosial-2-57d8b26d319773f6610a70d5.jpg
media-sosial-2-57d8b26d319773f6610a70d5.jpg
Pura yang berada persis di depan tinggal saya di Denpasar Bali

(Sumber: dokumen pribadi)

Media Sosial, Dua Sisi Mata Pisau

Saya justru termangu dan kaget ketika masalah penyembelihan daging kurban untuk memperingati Hari Raya Idul Adha 12 September 2016 lalu menjadi bahan guyonan dalam sebuah meme di media sosial. Bisa dipahami bahwa pembuatan meme tersebut sebagai hasil dari kreatifitas manusia. Tetapi, jika kreatifitas tersebut menyinggung perasaan orang lain justru menjadi bumerang buat kehidupan kita. Pernahkah kita menyadari bahwa segala sesuatu yang bernada menyinggung SARA, khususnya masalah agama sangatlah riskan.

Hendaknya masalah agama atau keyakinan orang jangan sampai dibuat bahan candaan meskipun dalam sebuah memesekalipun. Pernahkah kita sadari bahwa status apapun yang bernada menyinggung masalah agama mampu menyebar secara cepat melebihi kecepatan binatang cheetah di media sosial (medsos).

Mengapa kita tidak boleh membuat status apapun yang bernada SARA di akun media sosial? Media sosial merupakan ranah digital yang mudah dijangkau oleh masyarakat Indonesia. Dalam membina kerukunan umat beragama, bahwa sosial media bisa menjadi 2 sisi mata pisau dalam kehidupan beragama. Media sosial mampu merekatkan kerukunan umat beragama, tetapi bisa juga memberikan percikan api kebencian kerukunan umat beragama dalam beberapa detik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun