Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ogoh-ogoh dan Sampah Styrofoam

9 Maret 2016   14:28 Diperbarui: 10 Maret 2016   11:18 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="ilustrasi: KOMPAS.com/SRI LESTARI"][/caption]Sejak peringatan Hari Sampah Nasional yang diadakan pada tanggal 21 Pebruari 2016 lalu, masalah sampah menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi pun mencanangkan Indonesia Bebas Sampah pada tahun 2020 nanti. Sebuah terobosan yang harus kita apresiasi tinggi.

Selanjutnya, permasalahan sampah bukanlah tanggung jawab Pemerintah saja, tetapi membutuhkan peran serta nyata dari semua lapisan masyarakat. Ibarat kata, sehebat apapun program kalau tidak didukung apalah gunanya. Oleh sebab itu, peran masyarakat dalam mensukseskan Indonesia Bebas Sampah pada tahun 2020 harus dibarengi dengan tindakan nyata.

[caption caption="Ogoh-ogoh yang siap diarak pada malam pengerupukan menjelang Hari Raya Nyepi 9 Maret 2016 (dokpri)"]

[/caption]

Penggunaan Styrofoam

Kegiatan apapun yang membutuhkan material yang ramah lingkungan merupakan tindakan nyata untuk menyelamatkan lingkungan. Kita memahami bahwa banyak material yang digunakan tidak dapat diurai dalam tanah dalam beberapa tahun ke depan. Kondisi ini sangat menyedihkan.

Sama halnya dengan proses pembuatan ogoh-ogoh dalam menghadapi Hari Raya Nyepi 9 Maret 2016 di Bali. Arak-arakan atau pawai ogoh-ogoh telah dilakukan semarak pada malam pengerupukan menjelang jatuhnya Tahun Baru Saka 1938 dalam Kalender Hindu Bali. Perlu diketahui bahwa, proses pembuatan ogo-ogoh telah menyita perhatian masyarakat Hindu Bali kurang lebih 1 bulan sebelum jatuhnya Hari Raya Nyepi.

Ada hal yang membuat gundah kita dalam proses pembuatan ogoh-ogoh. Material yang digunakan untuk membuat ogoh-ogoh secara mayoritas berasal dari bahan yang tidak dapat terurai dalam tanah, yaitu: Styrofoam. Styrofoam (disebut juga polystyrene) atau masyarakat awam yang biasa menyebutnya sebagai Gabus umumnya berwarna putih bersih. Bentuknya simpel dan ringan. 

Secara kimiawi bahwa Styrofoam dibuat dari kopolimer styrene yang mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang dan dibentuk sesuai kebutuhan kita. Namun, yang menyedihkan adalah kandungan yang terdapat dalam bahan styrofoam yang berupa benzen, carsinogen, dan styrene. Kandungan tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada sum-sum tulang belakang, menimbulkan anemia dan mengurangi produksi sel darah merah hingga meningkatkan resiko kanker.

Banyak kalangan menganggap bahwa Styrofoam diklaim sebagai Sampah Abadi yang Tidak Terurai. Oleh sebab itu, Styrofoam sangat berbahaya bagi lingkungan. Sebagai informasi, jika sampah plastik membutuhkan waktu hingga 500-an tahun untuk dapat terurai di dalam tanah, tetapi styrofoam justru tidak pernah dapat terurai. Sehingga sebungkus sampah styrofoam di dalam tanah akan tetap pada bentuknya, tidak berubah dan hancur.

Memang, beberapa penelitian telah menemukan Styrofoam jenis Oxodegradable Polystyrene, yang diprediksi lebih ramah lingkungan. Tetapi, untuk menjadi ramah lingkungan harus diberi tambahan bahan oxium sehingga dapat terurai dalam waktu 4 tahun. Tentunya dengan penangan yang serius, biaya dan teknologi yang mumpuni.

[caption caption="Ogoh-ogoh yang dibuat dari bahan Styrofoam (Tempo.com)"]

[/caption]

Ogoh-ogoh Ramah lingkungan

Saya kerap kali melihat pembuatan ogoh-ogoh dari 2 material yang berbeda, yaitu: yang ramah lingkungan berupa anyaman bambu yang ditutup material koran bekas dan menggunakan bahan Styrofoam. Tetapi, secara mayoritas penggunaan material Styrofoam lebih sering saya jumpai.

Saya memahami bahwa masyarakat sebenarnya mengetahui dampak yang terjadi jika menggunakan bahan Styrofoam. Tetapi, titik permasalahannya adalah perlunya menyadarkan tentang dampak yang terjadi terhadap lingkungan.

Pasalnya, dengan menggunakan Styrofoam proses pembuatan ogoh-ogoh akan lebih mempersingkat waktu pembuatan dan mudah pembuatannya menjadi salah satu motif utama. Apalagi, jika proses pembuatan ogoh-ogoh menjadi ladang usaha maka penggunaan material Styrofoam menjadi jalan pintas yang harus ditempuh. Kecuali, jika sang peminat meminta bahan yang ramah lingkungan berbahan anyaman bambu.

Merujuk pada konsep Tri Hita Karana merupakan faktor penting dalam menyelaraskan hubungan manusia dengan alamnya. Dampaknya, manusia pun tidak ingin menjadikan kondisi alam menjadi rusak karena pengaruh sampah Styrofoam yang semakin menjadi-jadi.

Sampah Styrofoam yang terbawa air ke laut akan berdampak membunuh ekosistem dan menyebabkan pencemaran air laut. Akibatnya, hewan-hewan yang ada akan memakan material yang tercemar tersebut. Selanjutnya, kita sebagai manusia akan turut mengkonsumsi ikan hasil tangkapan di laut. Apa yang terjadi? Penyakit pun akan kembali kepada kita sebagai penyebab pencemaran lingkungan. Ini adalah sebuah lingkaran setan yang harus diputus mata rantainya. Salah satunya, menghentikan konsumsi Styrofoam sekarang juga.

Untuk menggalakkan penggunaan bahan material yang ramah lingkungan, Seniman ogoh-ogoh Bali, Putu Marmar Harayuki, memberikan seminar tentang ogoh-ogoh anti sterofoam untuk mengubah kebiasaan pemuda Bali membuat ogoh-ogoh dengan styrofoam. Menurutnya, pengalaman dan pengetahuan Putu Marmar, selama bergelut di kesenian ogoh-ogoh selama lebih dari 20 tahun ini, pemakaian sterofoam untuk ogoh-ogoh sudah 15 tahun lalu.

Untuk menjaga tradisi Bali dan lingkungan ditekanlan dalam pemakaian bambu dan kertas koran bekas dalam membuat ogoh-ogoh. Bukan hanya itu, pembuatan ogoh-ogoh dengan material bambu bisa menghemat biaya sampai 75 persen lebih.
Oleh sebab itu, proses pembuatan ogoh-ogoh dengan bahan ramah lingkungan justru lebih menghemat biaya dan menjaga keseimbangan alam.

[caption caption="Ogoh-ogoh dari bahan bamboo yang ramah lingkungan (www.online-instagram.com)"]

[/caption]

Jadi, membuat ogoh-ogoh adalah sebuah ritual yang harus dilakukan dengan sepenuh hati. Tetapi, hendaknya memberikan kelangsungan hidup makhluk lainnya dan menjaga keseimbangan alam. Siapa menabur, dialah yang menuai. Pepatah lama yang harus kita pegang teguh. Siapa pembuat sampah Styrofoam, merekalah yang akan menuai penyakitnya.

 

Referensi

http://bali.tribunnews.com/2016/02/17/ayo-budayakan-ogoh-ogoh-tanpa-sterofoam

 

 

Nyepi di Denpasar, 9 Maret 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun