Mohon tunggu...
Casmudi
Casmudi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Seorang bapak dengan satu anak remaja.

Travel and Lifestyle Blogger I Kompasianer Bali I Danone Blogger Academy 3 I Finalis Bisnis Indonesia Writing Contest 2015 dan 2019 I Netizen MPR 2018

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suara Anak, Suara Tuhan

31 Januari 2016   17:48 Diperbarui: 31 Januari 2016   18:03 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

“Melindungi anak perlu orang sekampung dan mendidik anak perlu orang sekampung”

 

Masih ingatkah kita dengan kasus pembunuhan gadis kecil Angeline? Kasus pembunuhan keji yang telah terjadi tahun 2015 di Bali telah menyita perhatian publik hingga ke manca negara. Yang menarik perhatian adalah keputusan hakim tentang siapa dalang dan pembunuhnya belum jelas alias samar-samar. Publik pun sampai detik ini masih dibuat penasaran siapa sebenarnya yang bersalah karena proses sidang masih berlangsung.

Kejadian tentang terbunuhnya gadis kecil Angeline memberikan inspirasi insan film untuk membuat dalam sebuah karya berbentuk film. Namun, entah masalah apa yang menyelimutinya, proses pembuatan film yang berlokasi di Bali terpaksa dihentikan atau dilarang. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi pembuatan film tersebut dan masalah kekerasan yang terjadi pada anak-anak Indonesia maka perlu diadakan pemahaman yang serius tetapi santai melalui acara diskusi dan temu media.

Oleh sebab itu, pada hari Minggu, 31 Januari 2016 yang bertempat di The Hotel Harmony Sunset yang berada di jalan Sunset Road, Badung Bali diadakan temu media online dan bloggers atas inisiatif Kak Arul Arista (blogger penggagas KOPI/Koalisi Online Pesona Indonesia dan wartawan Kabarindo) yang menghadirkan Pemerhati Anak Kak Seto bertemakan “Sosialisasi Penguatan Keluarga sebagai Solusi Anti Kekerasan Anak dan Hukuman Maksimal Kepada Pelaku (Extra Ordinary Crime)”.

Dalam temu dan diskusi tersebut menghadirkan juga pihak pembuat film Angeline yang diwakili oleh sang Sutadara Bapak Susilo Badar yang pernah berperan sebagai bapaknya Jokowi dalam film Jokowi. Selanjutnya ada sepasang suami istri Pak Duke dan Ibu Niken Septasari yang bertindak sebagai produser film tersebut.

Acara tersebut juga menghadirkan penulis script/scenario cantik Mbak Lele Laila yang sedang menempuh S2nya di ITB. Dan, yang tak kalah penting adalah menghadirkan Ibu Hamidah yang notabene sebagai ibu kandung dari almarhumah Angeline agar beritanya berjalan seimbang.

 


Kak Seto, Ibu Hamidah, Bu Niken Septasari dan Kak Arul Arista dalam acara diskusi

 

Mendidik dengan Cinta

Acara diskusi berlangsung sangat kekeluargaan dan “gayeng”. Kak Seto banyak memberikan pelajaran dan pemahaman tentang arti pentingnya dalam mendidik anak yang baik dan mencegah dari tindakan kekerasan terhadap anak Indonesia. Kak Seto banyak menceritakan bagaimana masa kecilnya yang bandel dan susah diatur sampai kepalanya pun bocor berdarah. Itulah sebabnya gaya rambutnya yang berponi untuk menutupi bekas lukanya tersebut.

Cara mendidik anak yang tidak perlu dengan kekerasan membuka mata kita bahwa dengan kekerasan maka orang tua secara tidak langsung telah bersalah dalam proses pendidikan anak. Perlunya waktu berkumpul dengan keluarga semakin menghangatkan hubungan keluarga sangatlah dilakukan. Kak Seto mencontohkan bahwa hari Sabtu adalah harinya keluarga, maka apapun yang tidak berhubungan keluarga perlu dipinggirkan.

Sebagai contoh, ketika beliau diundang dalam suatu acara ke Aceh menjelang musibah Tsunami Aceh lalu telah dilarang atau diprotes oleh anak-anaknya agar tidak usah berangkat untuk memenuhi undangan tersebut karena terjadi pada hari Sabtu. Selanjutnya, beliau pun menelepon sang pengundang untuk tidak jadi memenuhi undangan sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan sebelumnya. Selanjutnya, beliau bersyukur karena tidak menjadi korban tsunami Aceh karena gagal berangkat. Itulah sebabnya, beliau berkata, “suara anak suara Tuhan”.

Cara mendidik anak dengan kekerasan memang justru membuat anak enggan melakukan apa yang kita perintahkan. Bahkan, semakin melawan apa yang kita perintahkan. Perlunya anggapan bahwa anak bukanlah bawahan kita yang bisa kita suruh-suruh, tetapi anak merupakan sahabat terbaik yang bisa diajak menjadi ajang untuk bertukar pikiran.

Tetapi, sering kita mendengar ungkapan orang sukses yang dengan santainya berkata, “saya bisa menjadi menjadi pengacara karena dididik dengan keras oleh orang tua”. Seakan-akan, kekerasan orang dalam mendidik sangat bermanfaat bagi kesuksesan orang. Kak Seto mengungkapkan bahwa jika dengan kekerasan saja anak bisa menjadi pengacara hebat maka jika dididik dengan cinta oleh orang tuanya bisa menjadi gubernur atau menteri.

Oleh sebab itu dengan cinta akan membawa anak untuk menjadi pribadi yang baik dan sayang terhadap sesama. Kita sering mendengar atau melihat kejadian bagaimana kekerasan yang dilakukan anak karena karakter yang terbentuk dari apa yang diterima oleh orang tuanya sejak kecil.

Kita memahami bahwa masalah kekerasan anak bukanlah masalah keluarga atau lingkup yang terkecil saja, tetapi sudah menjadi masalah nasional. Untuk mencegah terjadinya kekerasan anak di tingkat RT/RW adalah perlunya pembentukan seksi atau satgas (satuan tugas) perlindungan anak dalam kepengurusan RT/RW. Hal ini bisa menjadi usaha preventif atau pencegahan tindak kekerasan terhadap anak.

Menurut Kak Seto yang mengambil dari ungkapan Hillary Clinton, “melindungi anak perlu orang sekampung dan mendidik anak juga perlu orang sekampung”. Ungkapan tersebut menunjukan bahwa pencegahan kekerasan anak sudah menjadi tugas setiap anggota masyarakat.

Mendidik anak pun akan menjadi tugas guru ketika anak-anak berada di sekolah. Guru pun perlu mendidik siswanya dengan cinta. Sayangnya, menurut Kak Seto yang diperoleh dari pihak Kementrian Pendidikan bahwa kurang lebih 60 persen guru-guru kita mengajar muridnya tidak dengan cinta. Sebuah kondisi yang membuat saya mengernyitkan dahi. Kok bisa?

Pantas saja, mutu pendidikan kita masih rendah. Hal ini bisa kita nikmati dan lihat dengan gamblang dengan banyaknya tindakan kekerasan dan perilaku yang tidak selayaknya dilakukan oleh anak didik, seperti: perkelahian antar pelajar, kekerasan pada anak didik hingga tindakan tidak senonoh. Memilukan sekali!

 

Tidak Mengambil Untung dari Musibah Orang Lain

Tindakan kekerasan yang berlanjut terhadap upaya pembunuhan terhadap almarhumah Angeline membuka mata setiap warga negara perlunya perlindungan anak yang dilakukan sebaik mungkin. Kejadian tersebut yang memberikan inspirasi insan film untuk membuat sebuah cerita yang diadaptasi dari cerita Angeline.
Tetapi, karena kasus Angeline belum tuntas benar, maka shooting yang berlangsung di Pulau Bali harus dihentikan atau dilarang dengan alasan yang belum jelas dari pihak birokrasi. Menurut Sutradara Susilo Badar, selanjutnya shooting film Angeline akan dilakukan di luar pulau Bali (Jakarta) alias berjalan terus.

 


Sang Sutradara Susilo Badar dan Produser Bapak Duke

 

Banyak kalangan yang beranggapan pihak manajemen pembuat film memanfaatkan kasus Angeline untuk mendulang rupiah. Sang Produser Ibu Niken Septasari pun membantah bahwa film tentang Angeline semata-mata untuk membuka mata masyarakat Indonesia tentang tindakan kekerasan yang ada dalam lingkungan masyarakat. Apalagi, kekerasan terhadap anak merupakan tindakan yang dikategorikan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime).

Ibu Niken juga membantahnya kembali bahwa film yang masih dalam pembuatan tidak diprediksi apakah akan laku di pasaran. Ibu Hamidah (ibu kandung almarhumah Angeline) sambil menangis dan meneteskan air mata pun menyatakan bahwa insan film adalah orang-orang baik yang peduli akan kasus Angeline khususnya, dan kekerasan terhadap anak pada umumnya.

Mbak Lele Laila sebagai penulis script film Angeline pun mengungkapkan bahwa film yang sedang digarapanya adalah tindakan untuk menyadarkan masyarakat Indonesia tentang perlunya tindakan pencegahan kekerasan terhadap anak. Cerita yang dibuatnya pun tidak berhubungan dengan ranah hukum karena kasus Angeline secara faktanya belum selesai ketok palu.

Dari diskusi yang berlangsung dapat diambil kesimpulan bahwa kekerasan terhadap anak secepatnya dicegah. Perlunya cara mendidik orang tua dan para guru dengan cinta akan mendorong anak menjadi sosok yang luar biasa di masa depan. Perlunya pembentukan satuan tugas (satgas) perlindungan anak akan mencegah tindakan kekerasan terhadap anak.

Film tentang Angeline yang masih dalam proses pembuatan bisa menjadi pembelajaran masyarakat Indonesia tentang pencegahan kekerasan terhadap anak yang ada di sekitar kita. Kita berharap semoga anak Indonesia adalah anak yang selalu tersenyum dalam menyambut mas depannya. Siapa yang peduli, kalau bukan kita?

 


Bersama mbak Lele Laila (penulis script)

 


Bersama Ibu Hamidah (ibu kandung almarhumah Angeline)

 

*) Semua foto dokumen pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun