Peristiwa nikahnya Bayu Kumbara asal Indonesia (Padang) dan Jennifer Brocklehurst si bule cantik asal Inggris dalam adat Padang (Sumatra Barat) menjadi berita hangat di media sosial baru-baru ini. Banyak kalangan beralasan karena perbedaan bentuk fisik dan kewarganegaraan menjadi bahan pembicaraan. Tetapi, perlu diketahui bahwa cinta sejati selalu muncul dalam diri manusia kapan pun dan di mana pun tanpa melihat status sosial, suku, agama, dan apa pun. Dan terpenting, JODOH ITU KEHENDAK TUHAN.
Sebelum kejadian pernikahan tersebut, saya justru pernah menyaksikan sendiri pernikahan seperti itu. Kejadiannya sekitar akhir tahun 2011, ketika saya mau sholat Dhuhur di Masjid yang berada Tuban-Kuta Bali di sekitaran Bandara Ngurah Rai. Waktu itu, saya masih bekerja di perusahaan kontraktor dan telah melakukan nego proyek. Ketika sedang santai menunggu sholat dhuhur, dari arah depan masjid masuklah rombongan orang yang berbeda warna kulit. Yang satu berkulit sawo matang alias Indonesia dan yang lainnya berkulit dan berwajah bule yang ternyata berasal dari negeri Kanguru Australia. Yang wanita baik yang Indonesia maupun yang bule semuanya memakai jilbab. Sedangkan, yang laki-laki baik yang Indonesia maupun yang bule memakai pakaian khas Muslim.
Saya melihat pemandangan dari jarak dekat antara seorang laki-laki yang berkulit hitam dan wanita cantik bule berjalan beriringan dan digandeng oleh keluarga mempelai. Saya Bergumam dalam hati, “Wah, mau ada acara kesaksian mualaf.” Tetapi, saya ragu atas perkiraan saya. Kebetulan tidak jauh dari tempat duduk, ada takmir masjid yang melintas di depan saya. Saya pun tak ragu untuk bertanya, “Maaf Pak, ada acara apaan nih pak?” “Ijab kabul, Mas, orang Indonesia sama orang Australia,” jawab takmir masjid.
Saya pun langsung menjawab dalam diri sendiri, ”Wah, mungkin mas-mas tadi sama bule yang cantik. Subhanallah, untung banget!” Dalam kebingungannya saya pun melihat pengurus takmir masjid menyiapkan meja untuk ijab kabul, mengatur sound system dan mengatur posisi tempat duduk kedua mempelai. Tidak beberapa lama, datanglah bapak-bapak yang membawa tas khas “Umar Bakri” dan disalami semua hadirin yang sedang duduk. Dan, saya yakin pasti itu pak penghulunya. Di belakang posisi duduk kedua mempelai telah tersedia ratusan konsumsi atau nasi catering buat hadirin yang ada.
Saya pun yang sedang duduk agak menjauh (dekat pintu masuk utama masjid) dan bersandar di tembok masjid dari tempat ijab kabul. Posisi ijab kabul kurang lebih 3 meter dari posisi tempat sujud imam masjid. Saya pun disuruh pengurus masjid untuk datang mendekat. Katanya untuk ikut serta menyaksikan acara ijab kabul. Saya mengiyakan dan duduk di samping kanan meja ijab kabul (sebelah kanan kedua mempelai) sejauh 3 meter sambil ingin mengetahui momen yang sedang terjadi. Posisi kedua mempelai menghadap kiblat. Saya lihat si bule cantik dengan memakai jilbab senyum-senyum dan agak malu-malu dilihatin orang yang hadir di masjid. Ijab kabul pun berjalan dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris).
Pertama kali ijab kabul diucapkan dalam bahasa Indonesia yang mengalami gangguan karena laki-laki pribumi harus mengulang 3 kali ucapan ijab kabulnya yang disambut tertawa para hadirin yang hadir, terutama yang dari Indonesia. Keluarga mempelai wanita pun, yang katanya mendadak terbang dan meluncur dari Australia ikut tertawa. Entah tahu artinya atau tidak, yang penting tertawa. Sang mempelai wanita si bule cantik pun ikut senyum-senyum dan membisikkan sebuah kalimat dalam bahasa Inggris yang kedengaran agak samar dan hanya mereka berdua yang tahu.
Saya pun menerka dan sok tahu apa yang dikatakannya, mungkin, “Nggak usah grogi dong Beb, aku kan tetap milikmu. Pelan-pelan dong ngomongnya. Malu dong sama orang-orang.” Eis, romantis banget! Benar banget, setelah si bule cantik membisikkan sebuah kalimat, sang penghulu membimbing lelaki dan lancar ijab kabulnya dan dilanjutkan ijab kabul dalam bahasa Inggris dan lancar juga. Penghulu pun bertanya kepada yang hadir, “Gimana bapak-bapak, ibu-ibu, sah?” Keluarga bule cantik yang berjumlah 5 orang sekali lagi hanya senyum-senyum. Yang hadir termasuk saya langsung mengucapkan, “Sah, sah!” Selanjutnya, pembacaan doa diucapkan oleh Bapak Penghulu. Dan wejangan penghulu dalam dua bahasa juga. Saya pikir, wah pak penghulunya fasih juga dalam bahasa Inggris.
Setelah ijab kabul tersebut, saya iseng-iseng tanya sama bapak-bapak yang hadir (mempelai laki-laki) yang nggak tahu keluarganya. Katanya sih bapaknya.
“Dari mana Pak?” Dan bapak tersebut menjawab, “Dari sini aja, cuma kami asalnya dari Banyuwangi.” Karena dari Banyuwangi saya pun tak ragu untuk bertanya-tanya dalam bahasa Jawa. “Wah. Pinter tenan yo mase, iso entuk bule ayu pak. Bejo tenan. Coba yen aku entuk bule, yo seneng.” (Wah, pintar banget ya, masnya bisa dapat bule cantik pak. Beruntung banget. Coba kalo saya dapat bule, ya seneng juga) tanyaku sambil tertawa yang dijawab bapak-bapak juga dengan tertawa. “Iyo, mas. Syukur Alhamdulillah. Anakku yo kerjo nang surfingan. Jarene yo kenalan nang kono. Wis jodohe mas. Gusti Allah sing ngatur.” (Iya Mas, syukur Alhamdulillah. Anakku kerja di bagian surfing. Katanya ya kenalan di situ. Sudah jodohnya Mas. Gusti Allah yang ngatur) jawab bapak mempelai laki-laki.