Dari sekian banyak titik lemah pengelolaan migas nasional, ada dua persoalan yang kerap disorot oleh publik. Pertama yaitu masalah subsidi. Yang ke dua yaitu masalah cost recovery.
Pro-kontra masalah subsidi memang bukan barang baru. Banyak yang menolak subsidi, tidak sedikit juga yang mendukung adanya subsidi. Mudah ditebak. Yang kontra-subsidi umumnya kalangan ekonom. Secara teoritis, bagi mereka, subsidi memang salah satu penyebab distorsi ekonomi. Dengan subsidi, harga akan lebih murah. Permintaan, dalam hal ini juga berarti tingkat konsumsi, cenderung lebih tinggi dari level alamiahnya. Pemborosan, atau bahasan ekonominya inefisiensi, akan terjadi di sana. Tingginya angka konsumsi secara langsung akan menggerogoti APBN. Peluang defisit anggaran terjadi. Tingginya harga minyak akan melengkapi "derita" APBN.
Di lain pihak, golongan "ijo", alias aktivis lingkungan, juga mengamini argumen para ekonom ini. Dua kelompok ini barangkali ketemu di satu titik, yaitu "penghematan" BBM. Jika ekonom menilai penghematan BBM itu berarti juga hemat anggaran subsidi, maka kelompok ke dua berpandangan bahwa penghematan BBM itulah salah satu peredam emisi CO2 yang cenderung meningkat akhir-akhir ini.  Senyawa inilah biang keladi pemanasan suhu bumi.
Persoalan lainnya, katanya, subsidi akan menimbulkan maraknya penyelundupan BBM ke negeri tetangga, akibat disparitas harga minyak. Harga BBM di sana akan menarik segelintir orang untuk mengambil keuntungan dengan cara-cara kotor. Sebetulnya, kalau kita sadar, alasan ini hanya akan menelanjangi kelemahan sistem pengamanan dan pengawasan negara maritim kita.
Dalam beberapa sisi, argumen mereka cukup masuk akal buat saya. Bahwa harga yang tinggi akan menyebabkan orang, secara perlahan tetapi pasti, mengurangi dan meninggalkan konsumsi BBM. Dampak ekonomi jangka pendek berupa inflasi akibat merangkaknya harga BBM barangkali akan diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian dalam jangka panjang. BBM sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar CO2 juga harus kita reduksi secara signifikan.
Bahwa BBM harus dihemat, itu saya sepakat 100 persen. Tetapi bahwa subsidi harus dihapus secara bertahap, itu nanti dulu! Membiarkan harga BBM mengikuti pasar yang liar mengandung sedikitnya tiga resiko. Pertama, jelas, secara substansi itu bertentangan dengan UUD 1945: "Cabang -cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Definisi "dikuasai" di sini, menurut saya, adalah termasuk menetapkan harga. Jadi bukan hanya memiliki minyaknya. Ketentuan lain yang dilanggar adalah ketetapan MK yang membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Migas yang menghendaki harga BBM diserahkan ke mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
Ke dua, pencabutan subsidi akan menimbulkan dampak serius bagi separuh lebih rakyat Indonesia yang masih hidup dengan 2 dolar AS sehari. Jika alasan utamanya untuk mengurangi beban APBN, maka sesungguhnya Pemerintah masih memiliki banyak cara lain untuk menutup defisit itu. Idiom: "Yang makan yang bayar" harus segera kita terapkan. Siapa yang makan? Siapa lagi, kalau bukan pemilik kendaraan?
Data kepolisian RI menunjukkan bahwa sampai 2008, sedikitnya ada sekitar 65 juta kendaraan bermotor. Dari jumlah itu, kendaraan pribadi sekitar 9,8 juta. Mereka, para pemilik kendaraan pribadi, adalah orang-orang yang paling pantas menanggung subsidi BBM untuk diri mereka sendiri, untuk kendaraan mereka sendiri. Pemerintah tidak perlu sungkan untuk menaikkan pajak kendaraan mereka. Kita tahu bahwa kendaraan "kelas umum" saja, semisal Avanza, harganya sudah di atas 120 juta. Jika mereka membayar 10 persen saja dari harga kendaraan mereka setiap tahun, katakanlah sebagai tambahan pajak mereka, setidaknya uang 90 trilyun akan bisa dikumpulkan. Bandingkan angka ini dengan kebutuhan untuk subsidi BBM tahun 2010 sebesar 60 - 80 trilyun. Bagi pemilik BMW seri 7, angka 10 juta rupiah per tahun tidak jauh beda dengan meludah. Barangkali.
Dengan menaikkan pajak mereka, selain defisit akan tertutup, penghematan BBM juga bisa terwujud melalui pengurangan kepemilikan kendaraan. Dua tiga pulau terlampaui hanya dengan satu ayunan dayung. Industri otomotif bisa jadi akan meronta. Tetapi mereka juga harus bangun dari mimpinya, dan berhenti menjejalkan barang-barang konsumtif kepada masyarakat dan memupuk gaya hidup a la Amerika yang boros energi di negeri ini.
Ke tiga, ini barangkali yang tidak banyak disadari orang, melepaskan harga BBM melalui kran pasar akan memberi kesempatan kepada pemain asing untuk melibas pangsa pasar BBM Pertamina. Sampai saat ini, kita boleh bangga bahwa SPBU Pertamina masih lebih "ramai" di banding, katakanlah, SPBU Petronas, Shell atau Total. Tetapi jangan berharap kondisi itu terjadi pada saat harga BBM dalam negeri sama dengan di Singapore.
Sebagai catatan, saat ini pun untuk BBM non subsidi, yakni BBM industri, pangsa pasar Pertamina sudah tergerus sedemikian hebat. Mereka memiliki kelebihan dalam sistem jual beli BBM non subsidi. Industri bisa "bayar belakangan" untuk mendapatkan BBM Petronas atau Shell. Sebaliknya, mereka harus "membayar di depan" untuk mendapatkan BBM non subsidi Pertamina. Patut kita cermati, akan sangat berbahaya bagi perekonomian kita, apabila industri-industri tanah air bergantung dari pasokan BBM impor dari perusahaan asing. Saat ini, Petronas memang masih menjual BBM Pertamina. Dalam jangka panjang, bukan mustahil mereka akan impor sendiri dari Malaysia, jika harga minyak dalam negeri sudah benar-benar "menginternasional".