"Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah."
Demikian kutipan guru bangsa Ki Hajar Dewantara suatu ketika di masa dulu.
Petikan tadi menggambarkan sosok guru yang figurnya dapat diperankan oleh siapa saja sekaligus mengisahkan sebuah tempat bernama 'sekolah' sebagai panggung belajar.
Setiap peristiwa yang dialami manusia selalu saja menorehkan bekas berupa fragmen pelajaran hidup.
Sebut saja orang gila, ciptaan Tuhan yang secara akal sehat jauh di bawah batas kewajaran.
Sebagian ia dikenal sebagai manusia yang berperilaku menyimpang tetapi hadirnya dapat membuat manusia tertegun karena Tuhan menciptakan orang seindah ini agar manusia pandai bersyukur.
Singkatnya, seluruh objek di alam semesta sejatinya adalah guru bagi murid yang secara berterima senantiasa memetik pelajaran.
Peristiwa ini berlangsung pada taraf simbiosis komensalisme, yaitu hanya menguntungkan satu pihak. Dalam kasus ini, secara mekanisme, guru lebih banyak diam sedangkan murid aktif mempelajari entitas guru.
Tentu ini menimbulkan adanya ketidakharmonisan dalam peristiwa belajar-mengajar. Seharusnya sebuah kombinasi maha dahsyat bisa tercipta jika saja mereka mampu menggelorakan diri dalam indahnya kemesraan belajar-mengajar.
Guru yang baik selain mampu menukar ide dan menanamkan pengetahuan adalah dapat menyalurkan inspirasi, motivasi, dan menyemarakkan imaji sekaligus mengutuhkan kecintaan terhadap objek yang dipelajari didikannya.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa juga adalah idiom yang selamanya berlaku.