Sejak pertengahan Februari sampai awal Maret lalu, saya berkesempatan berziarah ke Tanah Suci bersama rombongan dari Paris. Secara geografis, Tanah Suci yang menjadi tujuan ziarah umat Kristen mencakup apa yang saat ini dikenal sebagai wilayah Arab Palestina dan Israel. Secara rohani, wilayah ini menjadi oase sukma yang menarik jutaan peziarah dari tiga agama besar, "putra-putri Abraham," Yahudi, Kristen dan Islam. Sayangnya, apa yang disebut sebagai Tanah Suci bagi ketiga agama besar tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang ditulis dengan tinta darah, yang berkisah tentang bengisnya fanatisme ideologis-agamis yang membutakan mata belas kasih. Dapat dikatakan, usia konflik berdarah tadi setua usia Tanah Suci itu sendiri. Dengan demikian, Tanah Suci juga bagian dari kenyataan insani dengan suka dan tangisnya. Tulisan ini hendak membagikan pengalaman insani selama kunjungan di Tanah Suci.
"Dengan minyak tanah di tangan, kau bisa menambah nyala api yang sedang membakar rumah atau meneteskannya ke lampu dian agar bertambah terang cahayanya," begitu Olivier, seorang rahib asal Perancis menutup kesaksiannya sebagai misionaris yang diutus untuk tinggal di Tanah Suci. Makna di balik ungkapan sang rahib adalah kita dapat memilih untuk memanasi konflik yang memang sudah sangat panas (sebagaimana dilakukan beberapa golongan ultra-ortodoks di Knesset, parlemen Israel, beberapa waktu yang lalu saat mengusulkan pengambilalihan pelataran mesjid Al-Aqsa yang saat ini di bawah otoritas Yordania) atau menerangi sisi-sisi penuh harapan yang tetap hadir di tengah konflik berkepanjangan. Frère Olivier memilih untuk menambah terang pengharapan dengan hadir dan ambil bagian dalam kenyataan hidup warga muslim di Abu-Gosh yang termasuk wilayah Israel.
[caption id="attachment_315085" align="aligncenter" width="345" caption="Frère Olivier memberi kesaksian di depan para peziarah"]
Dalam kesaksiannya, frère Olivier mengakui bahwa Yerusalem memang kota yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konflik. Akan tetapi, lanjutnya, kita harus dapat menemukan sudut-sudut pengharapan di kota itu. Salah satunya adalah bahwa Yerusalem saat ini juga menjadi ajang perjumpaan begitu banyak pribadi dari penjuru negeri. Jika sistem dan kepentingan politik belum mampu menjembatani perdamaian, perjumpaan antar pribadi dapat menjadi awal dari sebuah revolusi damai di Kota Suci, begitu keyakinan sang rahib. Perjumpaan antar pribadi itulah yang sedang dilakukan beberapa pihak. Sebagai contoh: setiap tahunnya biara di Abu-Gosh menerima kunjungan dari siswa-siswi Israel yang belajar mengenal keberagaman agama di negara mereka. Siswa-siswi ini juga mengunjungi mesjid setempat.
[caption id="attachment_315091" align="aligncenter" width="422" caption="Salah satu sudut biara benediktin di Abu-Gosh, Israel."]
Kenyataan yang sama terjadi di biara lainnya, tidak jauh dari Abu-Gosh, yaitu di komunitas Beatitude, yang terletak di lokasi di mana para arkeolog meyakini sebagai bekas kota Emaus. Sebelum menikmati santap siang, kami mendengarkan kesaksian seorang anggota komunitas ini yang isinya tidak jauh berbeda dari kesaksian frère Olivier. Kehadiran komunitas adalah kehadiran hospitalitas atau keramahan menyambut setiap orang yang datang. Komunitas Beatitude pun menerima beberapa kaum muda Israel untuk "live in" di dalam komunitas sebelum nantinya menjalani wajib militer.
[caption id="attachment_315095" align="aligncenter" width="425" caption="Seorang anggota komunitas dan dua gadis remaja Israel yang sedang "]
Pertemuan antar pribadi menjadi begitu penting ketika pihak Israel khususnya membangun "benteng-benteng pemisah" sepanjang lebih dari 500 km yang mengurung sebagian besar wilayah Arab Palestina. Salah satu akibat pembangunan tembok pemisah ini adalah ketergantungan warga Arab Palestina secara ekonomis pada pihak Israel. Tembok pemisah inilah yang kami saksikan ketika berkunjung ke Betlehem, yang masuk ke dalam wilayah Arab Palestina.
[caption id="attachment_315103" align="aligncenter" width="415" caption="Tembok Apartheid yang mengurung wilayah Betlehem"]
Ketika kisah dari dalam tembok sulit diterima dunia luar, maka dinding-dinding tembok pun berkisah kepada dunia luar yang masuk ke "Rumah Roti," Betlehem. Sepanjang sisi tembok pemisah dekat gerbang masuk kota Betlehem, kami menyaksikan kesaksian warga kota dalam bentuk coretan atau pamflet yang menempel di dinding kelabu itu. Beragam coretan dan pamflet berkisah tentang penderitaan warga Betlehem tetapi juga tentang kegigihan manusia membela kebebasannya.