Maka, mengunjungi Yerusalem terasa tidak lengkap kalau belum mengunjungi juga museum Shoah, museum pembantaian warga Yahudi selam Perang Dunia II. Secara khusus, saya tenggelam dalam kedukaan ketika memasuki bagian anak-anak yang jadi korban. Wajah-wajah belia yang mestinya masih menikmati rahmat kehidupan menyambut pengunjung.
[caption id="attachment_315124" align="aligncenter" width="430" caption="Wajah-wajah belia yang berakhir di tungku pembakaran selam PD II"]
[caption id="attachment_315125" align="aligncenter" width="412" caption="Tiang beton menjulang, kenangan akan corong asap pembakaran korban"]
Memasuki bagian anak-anak ini, pengunjung akan berada di dalam ruang gelap berdinding kaca yang memantulkan terang sebatang lilin di bagian tengahnya. Sambil mengitari lilin tersebut, pengunjung akan mendengarkan nama lebih dari 6 ratus ribu anak-anak yang menjadi korban pembantaian. Inilah salah satu bagian yang paling menyentuh dari museum ini. Tidak ada keinginan untuk mengambil gambar; diri ini tenggelam dalam duka sepekat gelap, ditemani nyala lilin yang menari, sambil mendengarkan setiap nama yang memantul dari dinding ruangan. Setiap nama seolah menjelma menjadi seuntai doa...
Keluar dari ruangan, kami berhenti di depan sebuah patung yang menggambarkan seorang lelaki setengah baya yang memeluk anak-anak berwajah murung."Dialah Janusz Korczak, pendidik asal Polandia, yang melindungi anak-anak Yahudi dan memilih untuk berangkat ke kamp konsentrasi dan mati bersama anak-anak yang dilindunginya," begitu penjelasan pengarah perjalanan kami. Janusz pernah berkata,"Untuk hari esok, tanamlah bunga; untuk masa depan, tanamlah pohon; untuk generasi mendatang, didiklah anak-anak."
[caption id="attachment_315126" align="aligncenter" width="443" caption="Monumen Janusz Korczak dan anak-anak Yahudi yang dilindunginya"]
Beranjak dari museum peringatan korban Shoah, saya merenung: bukankah semestinya Israel belajar dari penderitaannya di masa lalu untuk tidak menjerat bangsa lainnya ke dalam penderitaan yang sama? Berapa korban lagi harus jatuh untuk dapat sampai pada perdamaian?
Maka, sambil melangkahkan kaki ditemani mentari yang beranjak pergi, saya teringat kembali tulisan Elie Wiesel," Saya tidak ingin masa lalu saya menjadi masa depan orang lain."
Paris, Selasa 4 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H