Angin surgawi berhembus ke arahku. Menyibakkan rambut dan membelai lembut telingaku. Seirama dengan berhentinya waktu, jantungku berdegup kencang saat kulihat kamu. Mungkin inilah yang mereka sebut dengan cinta—emm..bukan, kagum pada pandangan pertama.
Aku—si fakir asmara, berhenti mengerjap selama sekian detik. Mencoba untuk menikmati wajah yang terpahat dengan sempurna tepat didepan wajahku. Sempat terpikir bahwa Tuhan tidak adil. Mana bisa ada manusia sesempurna ini. Coba lihat kulitnya, sawo matang mengkilat seperti orang ningrat. Hidungnya bangir. Rambutnya sehitam langit malam. Alisnya rapi bagaikan semut hitam sedang berbaris beriringan. Belum lagi bibirnya yang indah dipandang, tebal dan cukup merah untuk ukuran pria.
Kuhembuskan nafas untuk pertama kalinya setelah sekian detik berjibaku dengan khayalan babu. Dia raja dan aku ratunya. Dia lebah dan aku madunya. Dia langit dan aku awannya. Dia orbit dan aku planetnya. Dia supir dan aku angkotnya (lohh? Aduhh.. buyar!). Intinya, aku dan dia tidak bisa dipisahkan. Kami lengket seperti nasi yang mengering di piring.
Kharismamu begitu kuat. Takkan mudah menguap walau dipanasi seribu matahari di langit. Salju Gunung Fuji pun akan meleleh merasakan tulusnya senyummu.
Kamu terlalu indah untuk dilewatkan, namun juga terlalu manis untuk dimiliki.
Biarlah rasa kagum ini cukup berhenti sampai disini, sampai detik ini, saat mata kita tak lagi terpadu. TITIK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H